Sabtu, September 13, 2008

kelembagaan lokal

1
DIAGNOSA KEMARJINALAN KELEMBAGAAN LOKAL
UNTUK MENUNJANG PEREKONOMIAN RAKYAT DI PEDESAAN
ROOSGANDHA ELIZABETH1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Badan Litbang Departemen Pertanian Bogor
Jl. A. Yani No. 70. Bogor 16161
Email: caser@indosat.net.id
ABSTRACT
Failure of development in rural mirror marginalitically of local institute and brittle, which can
depict influence affect crisis to national economy. Rural development program which less lift
sovereignty (politics) socialism economic activity, uncared and also its rural resource interest factor
represent its uncared evidence traditional institute and structure, and the rural economics too; so
that progressively of brittle. All planner and organizer of development assessed less comprehend its
important role of rural local institute to development of rural economics and agricultural sector in
sustaining national economy. If this condition anticipated, efficacy transformation of local institute
to economics of rural society includes; cover culture social typically can be existed, what supported
powered of human resource and leadership factor as actor of progress activator.
Keywords: Marginalitically of Local Institute Concept, National Economy, Rural Resources.
ABSTRAK
Kekeliruan utama dalam pembangunan pertanian mencerminkan kemarjinalan konsep kelembagaan
lokal, yang mampu menggambarkan pengaruh dari dampak krisis terhadap perekonomian nasional.
Kemarjinalan kelembagaan lokal di pedesaan dapat ditunjukkan oleh kelemahan dalam
pengembangan dan penerapan aspek kepemimpinan. Kombinasi agricultural development dan
rural development menjadi rural-agricultural development merupakan satu program pembangunan
pedesaan yang lebih baik dan komprehensif. Upaya pembangunan perekonomian dan kelembagaan
pedesaan seharusnya berbasis sumberdaya setempat, dengan mengembangkan budaya non-material
untuk meningkatkan daya saing modal sosial (social capital) dan ekonomi pertanian di pedesaan,
yang mencerminkan adanya penghargaan azas keadilan dan keberlanjutan. Tranformasi
kelembagaan terlihat pada berfungsinya asas keterwakilan, transparansi, akuntabilitas oleh elit
politik dan aparat pemerintah di daerah yang menempatkan masyarakat pedesaan sebagai mitra dan
pelaku strategis pemberdayaan ekonomi pedesaan.
Kata kunci: Kemarjinalan Konsep Kelembagaan Lokal, Perekonomian Rakyat, Sumberdaya
Pedesaan.
PENDAHULUAN
Sektor pertanian di pedesaan jika ditangani secara serius, sesungguhnya dapat
menjadi strategi untuk recovery sekaligus tulang punggung (back bone) bagi
perkembangan sektor riil dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia semenjak
pertengahan tahun 1997. Hal ini terbukti oleh daya hidupnya yang tinggi, ketika sektor lain
ambruk. Ciri khas usaha sektor pertanian salah satunya adalah terlibatnya begitu banyak
orang dengan pemilikan sumberdaya dan ketrampilan yang rendah, serta social network
yang kurang mendukung. Salah satu upaya pengembangan social network dapat dilakukan
1 Peneliti di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (d/h PSE), Bogor. Balitbang, Pertanian,
Departemen Pertanian.
2
melalui pemberdayaan (empowerment) kelembagaan tradisional masyarakat di pedesaan
yang makin tersisih dan tampaknya belum memadai.
Pembangunan pedesaan utamanya bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup
masyarakatnya. Beberapa strategi pembangunan pedesaan, antara lain seperti:
1. Peningkatan kesempatan kerja: dapat dilihat pada tingginya peningkatan tenagakerja,
memperluas kesempatan kerja di pedesaan dan daerah urban;
2. Peningkatan efisiensi: berkaitan dengan produktivitas sumberdaya melalui perbaikan
teknologi, dengan memperhatikan keselarasan (keharmonisan) ekologi dan konservasi
sumberdaya alam, sehingga bermanfaat dan berkelanjutan bagi generasi berikutnya;
3. Berkesinambungan: dengan harus memperhatikan lingkungan sosial, politik dan
ekonomi (ada relevansi/adaptasi pelaksanaan pembangunan terhadap kondisi daerah);
4. Equity: memerlukan akses luas terhadap sumberdaya, kesempatan kerja, infrastruktur;
5. Pemberdayaan: harus disokong melalui peningkatan kapasitas, kapabilitas masyarakat
pedesaan (memanfaatkan dan mengembangkan segala potensi yang ada).
Strategi tersebut menggagas bahwasanya pelaksanaan pembangunan pedesaan yang
ideal terbentuk karena partisipasi dari masyarakat desa (subjek) sebagai sasaran utamanya.
Namun strategi pembangunan model top-down (sentralistik) yang selama tiga dekade
terakhir telah memarjinalkan arti masyarakat lokal dan memandulkan inisiatif mereka serta
menjauhkan dari sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka.
Otonomi mereka terampas, mengakibatkan tidak dapat berkembang sebagai basis ‘selfpropelled
development’ (gerakan perkembangan mandiri). Pembangunan justru
menimbulkan kecenderungan differensiasi sosial yang semakin akut dalam kehidupan
petani. Jikapun ada yang disebut sebagai kebijaksanaan pembangunan lokal, tak lebih dari
penjabaran deduktif dari pembangunan nasional (konteks dan kepentingan masyarakat
lokal terabaikan/disubordinasikan terhadap kepentingan nasional). Potensi utama
sumberdaya ekonomi lokal telah dieksploitasi secara korporatis (dalam bentuk perusahaan
dan lembaga ekonomi yang menginduk ke pusat), sehingga kadar keterlibatan masyarakat
lokal sangat kecil baik sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan.
Kekeliruan pandangan harus dihilangkan bahwasanya pembangunan pedesaan baru
mencapai keberhasilan bila segala bentuk ketradisionalan (sosial, adat-budaya) desa dan
masyarakat diberdayakan. Hal tersebut disebabkan tidak adanya perencanaan
pembangunan pedesaan yang didasarkan pada evaluasi empiris, baik mengenai
perencanaan itu sendiri maupun mengenai ketradisionalan yang dimaksud, dimana rencana
tersebut akan diterapkan. Para perencana dan pengambil kebijaksanaan pelaksanaan
pembangunan pedesaan hendaknya meninjau ulang pemikiran Dove (1986) bahwa
3
kebudayaan tradisional terkait erat dengan proses sosial, ekonomis dan ekologis
masyarakat secara mendasar; bersifat dinamis (selalu selaras dan mengalami perubahan),
karenanya tidak bertentangan dengan proses pembangunan itu sendiri.
Makalah ini bertujuan untuk menguraikan, bagaimana konsep kemarjinalan
kelembagaan perekonomian pedesaan berperan besar dalam mengganjal perkembangan
perekonomian (pertanian) pedesaan. Benarkah jika sistem kelembagaan (ekonomi) suatu
masyarakat dibiarkan rapuh, maka program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi
apapun tidak akan mampu menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh?
Bagaimana memformulasikan strategi penguatan perekonomian yang mengandung unsur
penguatan jaringan kelembagaan perekonomian rakyat yang berbasis sumberdaya
pertanian yang memberdayakan masyarakat lokal serta memperhatikan keberadaan
pelestarian lingkungan, terhadap kalangan perumus kebijakan pembangunan?
Perumusan Masalah
Strategi pembangunan nasional yang sentralistik (juga di pedesaan, yang dengan
selalu menginduk ke pusat), menyebabkan bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan atau
wilayah, kurang memperhatikan aspek sosial (keadilan) dan budaya (keberlanjutan);
merupakan pola pembangunan yang konvensional (Salim, 1991), ternyata menuai kinerja
kelembagaan tradisional dan masyarakat lokal yang marginal. Berbagai dampak negatif
lanjutannya antara lain seperti: terjadinya kontraksi perekonomian (daerah maupun
nasional), degradasi sumberdaya alam (lahan dan air), terbatasnya kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha, semakin akutnya kesenjangan antar golongan masyarakat serta
memudarnya kelembagaan tradisional (dan ikatan/jaringan sosial masyarakat tradisional),
yang pada akhirnya berimplikasi pada lemahnya struktur sosial ekonomi masarakat yang
mayoritas pertanian di pedesaan.
Beberapa permasalahan yang hendak dikaji penulis dalam kesempatan ini, antara
lain: 1) Diagnosa bagaimana yang menjadi dasar pembangunan pedesaan; 2) Bagaimana
konsep kemarjinalan kelembagaan perekonomian pedesaan berperan besar dalam
mengganjal perkembangan perekonomian (pertanian) pedesaan; 3) Benarkah jika sistem
kelembagaan (ekonomi) suatu masyarakat dibiarkan marginal, maka program
pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu menjadi “mesin
penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh; 4) Bagaimana formulasi strategi penguatan
perekonomian yang seharusnya dirumuskan kalangan perumus kebijakan pembangunan
dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di pedesaan
4
Tujuan Penulisan.
Makalah ini memformulasikan beberapa tujuan seperti: 1) Diagnosa kritis yang
dapat menggambarkan marginalan kelembagaan perekonomian pedesaan. Hal ini dinilai
penting, sebab kemandirian dari kelembagaan perekonomian tersebut belum pernah
terwujud. Sistem kelembagaan (ekonomi) suatu masyarakat dibiarkan rapuh, maka
program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu
menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh; 2) Bagaimana kalangan
perumus kebijakan pembangunan memformulasikan strategi penguatan perekonomian
yang mengandung unsur penguatan jaringan kelembagaan perekonomian rakyat yang
berbasis sumberdaya pertanian yang memberdayakan masyarakat lokal serta
memperhatikan pelestarian lingkungan.
Justifikasi Penulisan
Strategi yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan
tradisional dalam pembangunan pertanian pedesaan merupakan hal yang penting. Dari
perspektif sosiologi pembangunan, kelembagaan diibaratkan sebagai organ-organ dalam
tubuh manusia yang mengaktifkan masyarakat tersebut. Setiap fungsi dalam masyarakat
pasti dijalankan oleh sebuah (atau lebih) kelembagaan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
(misalnya), dalam hal berproduksi dan distribusi, dijalankan oleh kelembagaan ekonomi.
Setiap orang yang terlibat di dalamnya diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai
pedoman bersikap dan berperilaku dalam berinterkasi sosial, yang dimantapkan kemudian
dengan adanya struktur yang baku, yang merupakan visualisasi dari siapa orang yang
terlibat, bagaimana posisi dan proporsionalnya.
Perubahan lingkungan eksternal menuntut perubahan operasional kelembagaan,
termasuk di tingkat lokal, perlu mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan
kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan
transformasi kelembagaan, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga tatahubungan
dari keseluruhan kelembagaan tersebut.
Revitalisasi strategi pembangunan pertanian dan pedesaan diperlukan menghadapi
globalisasi ekonomi, memperkuat kelembagan dan jaringan sosial masyarakat baik dari
aspek struktur atau konfigurasi jaringan yang efisien, tingkat partisipasi masyarakat, dan
peranan atau fungsi pembagian kerja secara organik. Makalah ini memvisualisasikan
kerangka teoritis seperti disajikan pada Gambar 1.
5
Gambar 1. Revitalisasi Lembaga Pertanian Tradisional
(Sumber: Diformulasi dari berbagai literatur)
Upaya mentransformasikan pertanian tradisional ke arah pertanian modern tersebut
tidak hanya melalui perubahan struktur ekonomi pertanian semata, namun juga
menyangkut perubahan struktur dan pola perilaku sosial masyarakat pedesaan. Salah
satunya melalui pemberdayaan kelembagaan oleh masyarakat lokal, sehingga
pembangunan pertanian dan pedesaan tidak menimbulkan kesenjangan yang akut (makin
melebar) antar golongan masyarakat. Dalam konteks inilah, maka kajian dan strategi
pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan lokal dipandang sebagai hal yang urgen
dalam program pembangunan pedesaan untuk memperkuat jaringan perekonomian
masyarakat pedesaan.
Menurut Etzoni (1961) mengemukakan bahwa pola keterkaitan atau keterlibatan
(compliance pattern) merupakan basis kelembagaan karena hubungannya merupakan
bagian sentral dari struktur kelembagaan. Tiga tipe tujuan utama (Etzioni) dalam
kelembagaan dalam menunjang perekonomian rakyat di pedesaan, yaitu: 1)tujuan perintah
(order); 2)economic dan culture (budaya); dan 3)adanya tujuan politik (political goals).
Sementara, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1992) mengklasifikasikan kelembagaan
lokal dalam beberapa kategori, yaitu: administrasi lokal; pemerintah lokal; organisasi
(baca: kelembagaan) yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha, pelayanan
dan bisnis swasta yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional dan global.
Kelembagaan Tradisional
(yang eksis di pedesaan)
Pemerintahan
(inti-plasma)
Kelembagaan Publik
-.administrasi lokal
-.pemerintah lokal
Tradisional
(patron-klien)
Kelembagaan Komunitas
-.organisasi komunitas
-.kerjasama usaha
Kelembagaan Pasar
(rasional)
(Private sector)
PEMBERDAYAAN:
-. Masyarakat lokal
-. Kelembagaan tradisional
TRANSFORMASI:
-.kelembagaan lokal yang maju
responsif terhadap perubahan.
-.produk dan produktivitas rakyat
yang berdaya saing tinggi
PEMBANGUNAN PEDESAAN:
-.berhasil, berdayaguna, berkelanjutan
-.masyarakat mandiri (self-propelled
development)
6
KONSEP PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN KAITANNYA DENGAN
PROGRAM OTONOMI DAERAH
Beberapa konsep pembangunan pedesaan merupakan proses penyadaran sosial
guna meningkatkan kemampuan dan kemandirian untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang berharkat dan bermartabat, yang dikatakan mencapai tujuannya jika
akhirnya masyarakat memiliki kemampuan secara mandiri untuk menentukan pilihan bagi
kehidupannya. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pedesaan, perhatian
hendaknya ditekankan pada perbaikan ragam kelembagaan yang berdayaguna dan
berhasilguna serta ke arah pencapaian pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja yang
lebih baik. Sudah seharusnya “agricultural development” dikombinasikan dengan “rural
development” sehingga menjadi satu program pembangunan pedesaan komprehensif, yaitu:
“rural-agricultural development”, yang langsung menuju ke sasaran, yaitu: petani gurem
dan buruh tani tunakisma.
Dampak dari pembangunan yang serba sentralistik adalah suatu kesenjangan antara
realitas makro dan mikro, yaitu relatif makmur secara nasional (makro) namun miskin
secara lokal (mikro). Di tingkat lokal, kondisi ini melahirkan beragam bentuk protes
ketidakpuasan masyarakat lokal/tradisional yang menuntut keadilan, mulai dari bentuk
apatisme, penarikan diri, unjuk rasa, pemberontakan lokal, gerakan separatisme
(menggagas kemerdekaan ‘negara baru’). Semua gerakan ini diabaikan dengan dalih
stabilitas nasional demi kelangsungan pembangunan (pertumbuhan ekonomi) nasional,
dimana selama 30 tahun lebih, pemerintah pusat telah merampas otonomi masyarakat lokal
sehingga tidak dapat berkembang sebagai basis self-propelled development (gerakan
perkembangan mandiri).
Upaya pembangunan perekonomian dan kelembagaan pedesaan seharusnya
berbasis sumberdaya pertanian dan pedesaan setempat. Artinya, mengembangkan budaya
non-material untuk meningkatkan daya saing modal sosial (social capital) di pedesaan,
yang mencerminkan adanya penghargaan azas keadilan dan keberlanjutan. Dari sisi
ekonomi, penguatannya harus bermakna peningkatan daya saing ekonomi pertanian di
pedesaan.
7
SIMPUL KRITIS PERMASALAHAN TRANSFORMASI
KELEMBAGAAN LOKAL
Simpul kritis2 program pembangunan pedesaan untuk tranformasi kelembagaan
lokal di pedesaan, seperti:
1. Kelembagaan dibentuk pemerintah, terfokus pada upaya peningkatan produksi
pertanian jangka pendek dengan tekanan kegiatan di lapang pada penerapan teknologi
produksi.
2. Kelembagaan lebih ke tujuan distribusi bantuan dan memudahkan aparat pemerintah
mengontrol pelaksanaan program pembangunan di lapangan, dan bukan ditekankan
pada peningkatan peran aktif masyarakat pedesaan.
3. Seragamnya bentuk kelembagaan yang dikembangkan sangat terasa dalam
pemerintahan desa. Pembentukan kelembagaan seharusnya ditekankan untuk
memperkuat ikatan horizontal daripada memperkuat ikatan vertikal.
4. Pembinaan kelembagaan cenderung individual, misalnya dengan memfoluskan
pembinaan kepada kontak-kontak tani, yang sesuai prinsip ‘trickle down effect’ dalam
penyebaran informasi yang dianut dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
5. Pengembangan kelembagaan cenderung menggunakan pendekatan struktural dibanding
kultural, dengan harapan perilaku dan tindakan masyarakat akan mengikutinya.
6. Introduksi inovasi lebih menekankan pada pendekatan budaya material dibanding nonmaterial
atau kelembagaan (misalnya dalam pengembangan kelembagaan irigasi).
7. Introduksi kelembagaan baru umumnya telah merusak kelembagaan lokal dengan
makin lemahnya ikatan horizontal antar pelaku sosial dan ekonomi di pedesaan,
dikarenakan kegiatan proyek umumnya bersifat sektoral dan antar tahun bersifat
kontiniu.
8. Pengembangan kelembagaan melalui jalur program pemerintah umumnya sarat slogan
dan jargon politik daripada upaya nyata pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan.
9. Aspek teknologi masih dijadikan jurus klasik perancang kebijakan pemerintah untuk
memecahkan masalah marjinalisasi ekonomi masyarakat pedesaan. Masalah
kelembagaan yang semakin lemah justru dipandang dengan hanya sebelah mata.
10. Kelembagaan pendukung belum dikembangkan dengan baik, karena pelaksanaan
pembangunan, terutama di pedesaan, terjebak dalam pendekatan sektoral.
2 Saptana, Roosgandha E., dkk. 2003
8
11. Sikap dan tindakan (aparat) pemerintah di atas ditopang lemahnya pola pikir dan
pemahaman kelembagaan, mencakup aspek fungsi dan kekuatannya menggerakkan
pembangunan pedesaan.
TAHAP TRANSFORMASI KELEMBAGAAN DI PEDESAAN
Dengan memperhatikan simpul kritis transformasi kelembagaan dan uraian di atas,
terdapat tiga tahap transformasi kelembagaan tradisional di pedesaan3, yaitu:
1. Tahap Masyarakat Komunal
Tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang universal; ketergantungan
penduduk masih tinggi dan campur tangan pihak luar masih rendah (masa sebelum ‘era
pembangunan’, campur tangan pemerintah belum secara intensif); cirinya kepemilikan dan
distribusi manfaat secara bersama, pengambilan keputusan penting masih dilakukan
dengan menjunjung tinggi prinsip kebersamaan (solidaritas), serta penetapan keputusan
yang demokratis. Pembentukan lembaga yang dibutuhkan, mencakup struktur, pemilihan
anggota, pola kepemimpinannya, penetapan keputusan yang demokratis, rule of game
(aturan main) serta sanksi-sanksinya. (contoh: KAN –Karapatan Adat Nagari – di Sumatera
Barat; Subak dan Banjar di Bali). Pada proses penyeragaman pemerintahan desa di
Indonesia melalui UU No.5/1974 tentang pemerintahan desa, kelembagaan contoh tersebut
tetap eksis, artinya dengan sedikit kelembagaan namun kaya dalam fungsi dan
cakupannya.
2. Tahap Penghancuran Masyarakat Komunal
Invasi kekuatan terhadap masyarakat desa mulai terasa sejak ‘era pembangunan’ oleh
pemerintah Orde Baru. Tanpa pengenalan dan pemahaman memadai pada masyarakat
lokal, berbagai kelembagaan baru diintroduksikan dengan struktur dan norma yang telah
ditentukan. (contoh: koperasi/ BUUD/ KUD, LKMD, LMD). Kondisi ini bukannya
memperkuat jaringan kelembagaan lokal, tapi justru merusak/menghancurkan
kelembagaan lokal (terjadi gejala banyak kelembagaan, namun miskin fungsi) dan lebih
sebagai alat untuk mobilisasi sosial dan memudahkan kontrol dari atas, sehingga terjadi
deformasi kelembagaan lokal, bukan transformasi yang bersifat alamiah.
3 Saptana, Roosgandha E., dkk. 2004.
9
3. Tahap Komunalitas Baru (Model Transformasi Kelembagan)
Pemerintah mulai merasakan timbulnya kesalahan dalam penetrasi kelembagaan yang
tidak dibarengi pendekatan kultural (aspek kelembagaan), maka pemerintah mulai beralih
dengan pendekatan baru yang lebih menghargai komunalitas lokal. Peran kepemimpinan
lokal kembali direvitalisasi agar menjamin keberhasilan pembentukan kelembagaan
introduksi.
Kelembagaan LPD sebagai salah satu model kelembagaan transformasi/introduksi
(mulai digerakkan tahun 1990-an) menunjukkan perkembangan yang baik (walau belum
spektakuler), karena perannya mendukung perkembangan agribisnis (padi, palawija,
hortikultura, perkebunan rakyat dan peternakan) di pedesaan. Kelembagaan koperasi dan
lainnya mulai berusaha menjadi ‘mandiri secara sesungguhnya’, dengan tidak mengisolasi
diri untuk berbagai kepentingan lain, yang secara sosiologis saling berkaitan dengan aspek
sosial-ekonomi masyarakat pedesaan (agama, budaya, adat-istiadat dan sosial). Bahkan
sejak era otonomi daerah, kebijakan pengelolaan kelembagaan oleh pemerintah berangsurangsur
beralih kepada masyarakat lokal yang secara rutin diberi bantuan, salah satunya
berupa program BLM (walau belum mencukupi) untuk pembangunan sarana sosial umum
yang mendukung program pembangunan pedesaan.
Sudah saatnya konsep diversivikasi pertanian, industrialisasi pedesaan, dan
pengembangan agribisnis dikembangkan menjadi program yang nyata dan aplikabel; yang
keseluruhannya harus lebih memperhatikan faktor manusianya atau faktor sosiokulturalnya
(sehingga manusianya tidak bodoh, kurang pendidikan, tidak berjiwa entrepreneur dan
hanya bermentalitas subsisten belaka). Pemerintah perlu meningkatkan terus kualitas
penduduk pedesaan sebagai sumberdaya ekonomi yang mampu berproduktivitas tinggi;
serta menghidupkan kembali dan meningkatkan sisa-sisa bentuk kehidupan sosial pedesaan
yang berdasar atas prinsip guyub (merupakan salah satu kelembagaan tradisional
masyarakat lokal) yang masih ada.
KAJIAN SOSIOLOGIS PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Pengkajian terhadap pembangunan pedesaan akan berlangsung sepanjang suatu
desa akan mengalami proses pembangunan tersebut dan mencakup berbagai aspek dan
faktor yang saling berkaitan dan sangat luas jangkauannya. Untuk itu sangat diperlukan
keefektifan analisa atas kendala dan kesempatan yang memadai bagi negara berpendapatan
rendah. Tiga cakupan kegagalan sejarah yang patut lebih diperhatikan, yaitu: 1) kegagalan
merancang dan menerapkan strategi yang tepat guna untuk pengembangan pertanian
dengan dasar yang luas; 2) kegagalan mengurangi tingkat kematian dan penyakit, yang
10
saling berkaitan dalam memperlambat pertumbuhan penduduk dan kenaikan angkatan
kerja; 3) kegagalan menciptakan organisasi dan kelembagaan yang tepat guna untuk
memecahkan masalah pada tingkat lokal dan memperbaiki penampilan dari birokrasi
pembangunan.
Dasar diagnosa pembangunan pedesaan, adalah: 1)berhubungan dengan pola
pengembangan pertanian atas dasar yang luas dan yang intensif dari tenaga kerja,
perluasan kesempatan penyerapan tenagakerja yang produktif, dan penggunaan lebih tepat
guna dan penuh dari sumber tenaga kerja yang berlimpah secara relatif, dapat
memudahkan perluasan penghasilan; 2) melibatkan penyempurnaan keterbatasan
pelayanan sosial (pendidikan, gizi dan kesehatan, dan sebagainya); 3) program
memperkuat prasarana kelembagaan dan ketrampilan mengelola kebutuhan pedesaan.
Pembangunan pedesaan menyebabkan terjadinya transformasi ke pertanian modern
tidak hanya melalui perubahan struktur, juga menyangkut perubahan berbagai aspek yang
membentuk perilaku, yaitu berupa perubahan sistem nilai, norma, orientasi. Lemahnya
kinerja ekonomi pedesaan terutama disebabkan rendahnya kapasitas kelembagaannya,
nilai-nilai tradisional yang masih rendah interaksinya antar kelembagaan, kecilnya akses
terhadap kelembagaan modern, dan melemahnya kelembagaan lokal karena tekanan dari
luar. Untuk itu diperlukan pemberdayaan kelembagaan tradisional yang dimulai dari
masyarakatnya agar menjadi esensial untuk mencapai kesinergisan yang optimum dalam
aktivitasnya di tingkat lokal.
Marjinalisasi Pertanian dan Pedesaan
Selama hampir seabad, pertanian Indonesia tidak menunjukkan perbaikan berarti,
jika tidak dapat dikatakan mengalami kemunduran. Konsistensi dan keberlanjutan
pembangunan pertanian tidak mengalami keberpihakan pada kemajuan perekonomian
pedesaan. Pengelolaan usahatani masih non-formal dan tradisional turun temurun, pasar
pertanian domestik kita diserbu produk pertanian impor. Sentuhan pengetahuan dan
teknologi modern umumnya hanya mampu diserap dan sesuai untuk kalangan petani sawah
yang ‘mampu’ dan hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Masalah marjinalisasi
pertanian tentu bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam, lebih
tepatnya terletak pada kualitas SDM yang lemah dan rapuhnya dukungan tatanan
kelembagaan pertanian pedesaan. Munculnya gejala marjinalisasi petani dan pemiskinan
struktural sangat nyata sebagai hasil ikutan dari modernisasi pertanian padi sawah (di
Jawa).
11
Dengan diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah (UU No.22 tahun 1999),
sistem dan peran kelembagaan penyuluhan pertanian (BPP) sudah sangat kurang memadai.
Bahkan, seperti kasus di Bali, BLPP (Balai Latihan Penyuluhan Pertanian) sebagai
lembaga untuk memperkaya pengetahuan sudah memudar. Kelembagaan penyuluhan sejak
dulu lebih banyak diarahkan untuk mendukung pengembangan produksi padi nasional
(dalam rangka swasembada pangan) dan sangat kurang berperan sebagai penggerak
ekonomi pedesaan. Kegiatan penyuluhan pertanian di pedesaan sering tidak sejalan dengan
alternatif petani untuk pengembangan ekonomi rumahtangganya.
Struktur dan Kelembagaan Ekonomi
Pemaknaan kelembagaan bersifat formal, lebih banyak berfungsi untuk kelancaran
pekerjaan dan kepentingan para birokrat di kecamatan dan pedesaan, seperti: KUD atau
BRI, adalah dianggap sebagai lembaga ekonomi yang bukan milik masyarakat pedesaan.
Hal ini mencerminkan pendekatan kebijakan perancang pembangunan yang sentralistik
(top down), centrally planned economies dan monolitik, sehingga terkesan sulit
berkembang dan tidak mengakar pada adat, kebudayaan dan local knowledge masyarakat
setempat (sejalan penerapan UU No.5/1979 tentang pemerintahan desa). Dengan demikian,
bisa dimengerti mengapa dan apa penyebab kemandegan KUD saat ini yang bahkan
meninggalkan sejumlah tunggakan yang tidak sedikit.
Terdapat tiga pola kelembagaan lokal pedesaan dalam mengelola usaha pertanian,
yaitu: pola pemerintah (inti-plasma), tradisional (patron-klien) dan pasar (rasional).
Ketiganya memiliki kesamaan pada konsentrasi “kekuasaan” dalam penguasaan modal dan
peluang dalam mengeksploitasi petani, yang tidak memperoleh bagian nilai tambah yang
wajar.
Tabel: Kontribusi Kesertaan dan Posisi Petani dalam Tiga Pola Kelembagaan Ekonomi Pedesaan,
menurut Beberapa Pencirinya.
Penciri Kelembagaan
Pola Kelembagaan Ekonomi Pedesaan
Pemerintah Tradisional Rasional-Pasar
Struktur Otoritas
Diferensiasi Kerja
Jaminan subsistensi
Simbol interaksi
Penguasaan modal
Insentif teknologi
Sharing sistem
Penentuan harga pokok
Kontribusi nilai tambah
Integrasi horizontal
Integrasi vertikal
Interdependensi asimetrik vertikal
Ketat - kurang
terkendali
1 – 2
1 – 3
Kepatuhan
1 – 2
1 – 2
Timpang
1 – 2
1 – 2
Lemah – sedang
Sedang – tinggi
2 – 3
Longgar – kurang
terkendali
1 – 2
2 – 3
Personal trust
0 – 1
1 – 2
Sedang
2 – 3
2 – 3
Lemah
Tinggi
2 – 3
Longgar –
terkendali
2 – 3
0 – 1
Transaksi harga
0 – 1
0 – 3
Sangat timpang
0 – 2
1 – 3
Lemah
Lemah – tinggi
0 – 3
Keterangan: 0 = tidak ada 1 = kecil 2 = sedang 3 = tinggi.
12
Hubungan interdependensi atau kemitraan yang terbentuk mencirikan interaksi
yang sangat asimetris, sehingga dinilai tidak menguntungkan bagi perbaikan perekonomian
petani dan pedesaan. Perlu dikemukakan adanya keterkaitan erat antara lemahnya kekuatan
politik dan terbelakangnya ekonomi petani (lemahnya hak politik petani maka sulit
mengembangkan kekuatannya dalam berorganisasi di bidang ekonomi). Kondisi tersebut
turut dipicu semakin sempit dan terbatasnya penguasaan dan pengusahaan lahan, dimana
yang berlahan luas menjadi semakin luas, menggambarkan gejala marjinalisasi petani dan
kemunduran perekonomian pedesaan menjadi sulit dielakkan.
Kepemimpinan dan Kemajuan Ekonomi
Peran kepemimpinan sangat besar bagi kemajuan maupun kemunduran
perekonomian suatu masyarakat, terlebih pada masyarakat yang kandungan semangat
patronasenya kuat. Keberadaan seorang pemimpin yang kuat dalam masyarakat pedesaan
sangat menentukan peluang dan tingkat kemajuan ekonomi masyarakat pedesaan. Di
kawasan irigasi Riam kanan, kepercayaan masyarakat petani terhadap pejabat
pemerintahan sudah sangat rendah, karena sudah banyak terjadi kasus pencatutan yang
mengatas namakan kepentingan petani untuk mengeruk keuntungan bagi pribadi
(‘korupsi’)sehingga banyak bantuan pemerintah yang tidak sampai ke petani; misalnya
bantuan kredit traktor tangan yang tidak didasarkan survei lapang yang akurat.
Aspek kepercayaan (trust) dalam kepemimpinan untik menggerakkan masyarakat
ke arah kemajuan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan akan dihargai serta
dihormati jika pemimpin tersebut memiliki keunggulan karena mampu memecahkan dan
mengatasi masalah masyarakat termasuk masalah produksi dan ekonomi pertanian mereka.
Hal ini penting untuk menghindarkan munculnya sifat ‘manja’ dan ‘ketergantungan’ petani
terhadap bantuan pemerintah, yang akan menyebabkan kemerosotan daya kreatif petani
dalam mengelola sumberdaya pertanian di daerahnya.
Seorang pemimpin juga harus mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat
dan menghilangkan sifat mementingkan diri dan golongannya semata. Petani juga
mengharapkan semangat “altruistik” (mau berkorban lebih dulu) dari seorang pemimpin,
agar memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat yang otomatis tentu akan menjadi
pendukungnya (misalnya, merintis jalur pemasaran lintas desa/daerah, memperhatikan
sarana dan prasarana pertanian, irigasi dan mengembangkan diversifikasi usahatani).
Seorang pemimpin diharapkan memiliki visi dan misi yang jelas dan ditranparansikan ke
petani, memiliki pemahaman local knowledge yang baik, mampu menggerakkan inspirasi
kekolektifitasan antar petani dan terorganisir dengan baik (dengan menunjukkan contoh
13
keberhasilannya dibanding secara individualistik), serta mentransmisi dan mendinamisasi
persaingan sehingga menjadi energi kolektif kemajuan masyarakat setempat.
Para ahli dan pakar kebijakan ekonomi umumnya berpendapat bahwa kemajuan
ekonomi suatu masyarakat akan menggusur semangat gotong royongnya. Dengan
pluralisme etnis di masyarakat pedesaan, individualisme/mementingkan kemajuan etnis
tertentu dapat diredam dengan menumbuhkan kecerdasan kolektif masyarakatnya dan
diarahkan untuk energi kemajuan bersama (conflict resolution), sehingga semangat
keorganisasian petani dapat berkembang sehat. Solidaritas masyarakat petani, secara
ekonomi sangat berguna, karena dengannya interdependensi antar petani dapat dijadikan
modal sosial untuk mewujudkan semangat win-win solution dalam kehidupan ekonomi
petani. Ciri kolektivitas dalam beberapa etnis di Indonesia telah membentuk pola hubungan
masyarakat paternalistik (panutan). Masyarakat membutuhkan seseorang sebagai patron
(panutan) yang mampu mewakili dan mewujudkan ‘impian’ masyarakat secara kolektif.
Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan tradisional merupakan salah satu
usaha dalam program pembangunan pedesaan (yang salah satunya dengan partisipasi
masyarakat lokal) untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat petani (agar tidak
hanya sekedar subsisten dan agar mampu berkelanjutan), agar dapat mendorong usaha
pertanian petani untuk berproduktivitas tinggi, berdiversifikasi, meninggalkan konsep
pertanian primitif subsistensi dan menuju pertanian yang modern serta mampu memenuhi
pasar komersial.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
1. Fokus utama dalam kajian aspek kelembagaan adalah perilaku atau perilaku sosial,
dimana inti kajiannya adalah mengenai nilai kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin,
keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Bentuk perubahan sosial dalam aspek
kelembagaan bersifat kultural dan prosesnya membutuhkan waktu lama.
2. Kemarjinalan kelembagaan lokal di pedesaan ditunjukkan kelemahan pengembangan
dan penerapan aspek kepemimpinan. Pemimpin harusnya sebagai penggerak dinamika
masyarakat pedesaan dalam pemacuan perkembangan ekonomi setempat.
3. Berperannya tata nilai (menegakkan rasa malu, harga diri dan etos kerja keras, rajin,
daya produktif tinggi) sebagai komponen kelembagaan untuk menggerakkan kemajuan
perekonomian baik secara individual maupun kolektif, sehingga terwujud domestic
saving yang tinggi serta empati/tepo seliro yang tinggi dalam bermasyarakat sosial.
14
4. Kemarjinalan kelembagaan lokal masyarakat pedesaan, dicerminkan oleh lemahnya
posisi tawar (bargaining position) petani, yang disebabkan: kelemahan
pengorganisasian kelompok tani, penguasaan permodalan usaha, ketimpangan
interdependensi petani dengan pelaku ekonomi luar desa. Pola kelembagaan petani
pedesaan, yaitu pola pemerintah (inti-plasma), tradisional (patron-klien) dan pasar
(rasional) masih mengeksploitasi petani secara tidak adil.
5. Terdapat tiga tahap perubahan kelembagaan, yang berbeda bentuk, karakteristik,
pengambilan dan penetapan keputusan, sifat keterlibatan masyarakat, serta pendekatan
sosial-ekonomi dan politik atas desa, yaitu kelembagaan pada: 1) tahap masyarakat
komunal; 2) tahap penghancuran masyarakat komunal; 3) tahap komunalitas baru.
6. Dalam program pembangunan pedesaan, strategi pengembangan kelembagaan,
cenderung sebagai: a) Tujuan pembentukan kelembagaan yang masih berkisar
peningkatan produksi, lebih memperkuat jaringan horizontal, tapi lemah dalam ikatan
vertikal, yang hanya untuk memudahkan distrubusi dan kontrol dari pelaksana
program; b) Keseragaman pengembangan bentuk kelembagaan bias pada pola
kelembagaan usahatani padi sawah; c) Pembinaan cenderung individual; d)
Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, entry pointnya
adalah teknologi, bukan kelembagaan; e) Introduksi melalui budaya material dibanding
non-material, atau merupakan perubahan yang materialistik.
7. Kelembagaan komunitas tradisional yang berlandaskan pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat lokal lebih mampu menjamin pengembangan, keberhasilan dan
keberhasilan kelembagaan tersebut.
Implikasi Kebijakan
1. Pembangunan pedesaan harusnya disertai oleh program yang langsung menuju ke
sasaran, dimana agricultural development dikombinasikan dengan rural development
sehingga menjadi rural-agricultural development yaitu satu program pembangunan
pedesaan komprehensif.
2. Perlunya penyesuaian yang kuat dari pihak perancang dan penyelanggara kebijakan
dengan keberpihakan terhadap kepentingan peningkatan perekonomian pedesaan.
Perlunya difungsikan asas keterwakilan, transparansi, akuntabilitas mereka dan
menempatkan masyarakat pedesaan sebagai mitra dan pelaku strategis pemberdayaan
ekonomi pedesaan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2000. Pengembangan Pertanian sebagai Andalan perekonomian Nasional.
PSE. Bogor.
Dove, M.R. (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Etzoni, A. 1985. Organisasi-Organisasi Modern. UI. Press & Pustaka Bradjaguna. Jakarta.
Geertz, C. 1874. Involusi Pertanian. Bharata. Jakarta.
Husken, F. 1998. Masyarakat Desa Dalam Perubahan. Grasindo. Jakarta
Israel, A. Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. LP3ES.
Jamal, E., dkk. 2000. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan kelembagaan Pertanian. PSE.
Bogor.
Kasryno, F. dan J.F. Stepanek. 1984. Dinamika Pembangunan Pedesaan. Obor. Jakarta.
Koentjoroningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Grasindo. Jakarta.
_______. 1997. Kebudayaan , Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta.
Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Mubyarto. 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Sinar Harapan. Jakarta.
Pranadji, T. 2001. Penguatan Lembaga Pedesaan sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan.
Makalah PENAS X: Pertemuan KTNA. Tasikmalaya.
Sajogyo. 1980. Ekologi Pedesaan. Sebuah Bunga Rampai. Obor. Jakarta.
Saptana, Roosganda, dkk. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional. Laporan Hasil
Penelitian. PSE. Bogor.
______. 2004. Transformasi Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Rakyat di
Pedesaan. Journal on Socio-Economics of Agricultural and Agribussines. Bali.
Schoorl, J. W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara
Sedang Berkembang. Gramedia. Jakarta.
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Gramedia. Jakarta.
Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih bahasa Aminudin dan
Mursid. Penerbit Ghalia. Jakarta.
Uphoff, N. 1992. Local Institution and Participation for Sustainable Development.
IIED. London.

Tidak ada komentar: