Jumat, Oktober 03, 2008

Dampak krisis finansial Amerika terhadap Provinsi Riau

Gagal bayar yang dilakukan banyak nasabah property terhadap perusahaan kredit Lehman telah menguncangkan kekuatan kemampuan perusahaan ini. Walaupun berumur ratus tahun dan berpengalaman dalam mengatasi berbagai krisis ekonomi amerika juga pendekar bisnis yang mampu meloncat dan menghindar dari naas, namun Lehman tahun ini harus mengangkat bendera putih. Akibatnya tidak saja perusahaan ini yang goncang tetapi juga dampak kepada berbagai perusahaam peminjam uang (dana reksanya, dana pensiun, dana sekuritas lainnya). Hal ini menunjukan krisis yang dialami US tidak ringan. Akibatnya negara turun tangan dengan mengeluarkan uang talangan sebesar 700 Milyar Dollar. Huh.. angka yang besar, namun belum tentu mampu mengatasinya. Mengapa jika semua orang menarik uang liquid nya dari lembaga keuangan amerika ( baik menjual saham ataupun menarik depositonya beramai-ramai) maka uang tersebut tidak mampu mengatasinya.

Apakah dampak yang terjadi di US akan mempengaruhi Riau?

Secara langsung, tidak. Tetapi Riau sebagai bagian Indonesia akan mengalami dampak ini sedikit banyaknya. Karena saham-saham perusahaan indonesia yang dimiliki orang eropah dan amerika (belakang ini saham Indonesia di beli oleh asing terutama Eropah dan US, sumber Iwan Jaya Aziz , metro TV, jumat 3 oktober 2008)bila pemilik saham perlu uang segar maka harga saham turun dan dana segar diperusahaan Indonesia akan kekurangan maka akan berpengaruh bagi produksi Indonesia. Demikian juga ekspor Indonesia ke US dan Eropah akan terganggu. Bagaiman dengan Riau? perusahaan go publik di Riau hanya segelintir dan tidak besar berpengaruhnya, tetapi bagi produk riau orientasi ekspor eropah dan USA seperti CPO, karet, dll. akan mengalami gangguan penjualan karena pihak luar mengalami gangguan pembayaran.Akibatnya supply lebih besar dari demand. tentu saja jepang dan pembeli produk indonesia lainnya akan cendrung membeli dengan harga murah.maka diyakini setelah Krisi ini akan diikuti oleh krisis harga komodity kita.

Komoditi ekspor Riau berbasiskan bahan baku alam sangat banyak terpengaruh dengan harga dunia. Contoh CPO (crude Palm Oil) harganya turun 50% dikarenakan peralihan pola konsumsi Eropah/USA kepada Produk Bunga matahari dan Jagung. Kejatuhan harga CPO ini jelas mempengaruhi PDRB Riau. Akibatnya Tingkat penerimaan pendapatan produsen CPO, baik petani maupun perusahaan turun. Terutama petani sawit mengalami peurunan pendapatan yang sangat signifikan yakni anjlok 50 % dari sebelumnya.

Turunnya harga CPO dunia lebih besar mempengaruhi ekonomi Riau dari pada krisis fanansial amerika (tapi ini ada dampak efek dominonya). namun keduanya diperkirakan akan mempengaruhi turunnya pertumbuhan ekonomi Riau tahun 2008 ini yaitu dibawah target yang dimaksud.

Oleh karena itu, pemerintah daerah secepatnya melakukan antisipasi, dengan meyakinkan jakarta bahwa Pusat harus siaga dengan dampak domino dari efek krisis ini agar terhindar tentunya persiapan dana apbn bila indonesia kena). Pemerintah daerah sepatutnya mengubah struktur ekonomi dari dominasi sektor primer ke sektor sekunder. Tentunya industri hilir komodity pertanian ini mejadi basis pembangunan idnsutri Riau.

Jumat, September 26, 2008

Mengapa mempelajari Ilmu Ekonomi

Adalah aneh jika orang mempelajari atau ingin mengetahui sesuatu tanpa mengetahui alasannya. Demikian juga dengan anda yang telah masuk fakultas ekonomi, dan mempelajari ilmu ekonomi, sangat mustahil tidak mengetahui tujuan dan manfaat mempelajari ilmu ekonomi.

Paling tidak ada 3 manfaat dari mempelajari ilmu ekonomi yaitu:
a. ilmu ekonomi dapat membantu anda mempelajari dan memahami perilaku manusia(lembaga swasta/ pemerintah)disekitar anda dalam memanfaatkan sumbedayanya, dan caranya dalam mengambil keputusan.


b. Ilmu ekonomi dapat membuat anda efesien dan efektif dalam berperan di berbagai kegiatan ekonomi.

c. Ilmu ekonomi akan mendorong anda menjadi masyarakat yang cerdas di berbagai bidang pekerjaan.

Senin, September 15, 2008

Arti Modern

14 Aug 2007, 07:19 am
Modern Nggak Mesti Kayak Bule
Posted in Karyaku, Renungan, Sehari-hari, Sosial Budaya
Catatan: Naskah ini pernah diterbitkan dalam bentuk ebook oleh Zabit Mobile Book, dan di-launching pada acara Milad FLP k-10 tanggal 24 Februari 2007 di Jakarta.
==========
Friend, pasti kamu enggak mau kan, disebut sebagai orang kuno? Setiap orang pasti pengen jadi orang modern. Tapi tahu enggak sih, kita sering menganggap bahwa yang modern itu pasti dari Barat. Pasti kayak orang bule. Contohnya nih: gaun pengantin ala Jawa kita sebut “gaun tradisional”, sedangkan gaun pengantin ala barat kita sebut “gaun modern”. Contoh lain: musik pop (yang berasal dari Barat) kita sebut musik modern, sedangkan musik India, Arab, Jawa, Sunda, Batak, Mandarin, dan sebagainya, enggak pernah kita sebut sebagai “musik modern”.
Padahal, apa iya modern emang seperti itu? Untuk menjawabnya, yuk kita analogikan modern itu sebagai produk atau teknologi modern. Apa sih, ciri-ciri produk modern itu?
1. Lebih baik. Produk modern haruslah lebih baik dari produk-produk sebelumnya. Lebih hemat energi, lebih mudah dipakai, lebih canggih teknologinya. Sebagai orang modern, kita haruslah selalu berusaha menjadi orang yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Selalulah berusaha untuk memperbaiki diri.
2. Orientasi jangka panjang. Produk modern harus tahan lama, bisa menjawab tantangan teknologi masa depan. Sebagai orang modern, kita harus selalu berpikir jangka panjang, bukan jangka pendek. Kata ustadz Sanusi , perbedaan orang dewasa dengan anak-anak adalah: Anak-anak: Berpikir jangka pendek. yang penting enak. Kalau enggak enak, walaupun bergizi, ia tak akan mau makan. Orang dewasa: Berpikir jangka panjang. Biarlah makanan ini enggak enak. Tapi kalau ia menyehatkan tubuh, apa salahnya dimakan? Jadi, orang yang pacaran lalu hamil di luar nikah, bukanlah orang modern. Sebab mereka cuma berpikir jangka pendek, tentang kenikmatan sesaat belaka, persis kayak anak kecil.
3. Banyak bisanya. Handphone yang paling modern biasanya punya banyak fasilitas: 3G, MMS, radio FM, MP3 player, chatting, sebagainya. Sedangkan handphone kuno cuma bisa buat SMS dan telpon-telponan. Nah, sebagai orang modern, kita harus pintar dan menguasai banyak hal. Untuk mencapainya, kita tentu harus banyak belajar, banyak membaca, dan seterusnya.
4. Menghargai waktu. Sebuah produk modern haruslah bisa bekerja secepat mungkin. Mobil tentu lebih modern ketimbang sepeda ontel. Sebagai orang modern, kita harus disiplin dalam mengatur waktu. Jangan suka membuang-buang waktu secara percuma, karena waktu tak akan pernah kembali. Manfaatkan waktu kamu seefisien dan seefektif mungkin.
5. User friendly. Produk yang modern haruslah mudah dipakai, walau oleh orang yang paling awam sekalipun. Sebagai orang modern, kita enggak boleh jadi orang yang sulit; Sulit bergaul, sulit bersedekah, sulit memberi maaf. Wah, itu kuno banget gitu loch! Kalau mau jadi orang modern, cobalah ubah kata “sulit” itu menjadi “mudah”. Maka Insya Allah, kita akan punya banyak teman dan jadi orang yang gaul abis!
6. Banyak manfaat. Produk modern seharusnya enggak cuma keren dan canggih. Ia juga harus punya banyak manfaat bagi si pemakai. Sebagai orang modern, kita harus bermanfaat bagi sebanyak mungkin manusia. Kita harus punya kepedulian sosial yang tinggi. Kalau mau melakukan perbuatan apapun, kita harus memikirkan apakah perbuatan itu bermanfaat bagi orang banyak, atau justru merugikan semua orang.
7. Kuat dan tangguh. Produk modern haruslah tahan lama, enggak mudah rusak. Orang modern haruslah menjadi manusia tangguh, enggak gampang sakit, enggak mudah menyerah, enggak mudah frustasi. Kalo enggak tangguh atau punya mental lembek, kita akan sulit menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman yang makin pesat.
8. Mandiri. Produk yang paling modern adalah produk yang enggak tergantung pada banyak hal. Contohnya: handphone yang tanpa kabel tentu lebih modern ketimbang telepon rumahan yang berkabel. Sebagai orang modern, kita enggak boleh manja dan banyak bergantung pada orang lain. Ayo dong, jadi orang yang mandiri.
Nah, itu dia ciri-ciri manusia modern. Jadi, modern itu enggak ada hubungannya dengan Barat, lho. Jadi kalau penampilan kamu misalnya enggak sama dengan penampilan Britney Spears, atau kamu enggak suka sama film-film Hollywood, jangan takut dicap kuno. Coba aja penuhi kriteria-kriteria di atas. Maka Insya Allah kamu adalah orang yang sangat modern! (*)
Jonru

Belajar Ilmu Ekonomi

BAGAIMANA BELAJAR ILMU EKONOMI [1]

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM




Pendahuluan

Sejak penerbitan buku kecil Pendidikan Ekonomi Kita (PUSTEP-UGM, 2004) dan buku ikutannya Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah-sekolah Lanjutan (bersama Awan Santosa), kami makin intensif mengamati cara-cara dan praktek guru-guru sekolah lanjutan mengajarkan ilmu ekonomi. Pernah satu ketika mata pelajaran ini disebut ilmu ekonomi koperasi, satu nama yang sebenarnya lebih tepat karena di Indonesia terutama di perdesaan, tetapi juga di perkotaan, kehidupan berekonomi masih selalu dijiwai semangat kekeluargaan, kerjasama antarorang. Misalnya, di kalangan masyarakat Jawa ada ungkapan tuna satak bathi sanak, yang sangat tepat menggambarkan tindak berekonomi yang tidak mengutamakan pengejaran keuntungan. Rugi sekalipun (tuna = rugi), tidak perlu dianggap gagal kalau pada saat yang sama didapat kerabat baru (sanak = saudara). Ungkapan ini saja cukup untuk membedakan perilaku homo-ekonomikus ala ekonomi Barat yang pertama-tama diajarkan dalam ilmu ekonomi di sekolah-sekolah kita, dan homo-socius atau homo-ethicus ala ekonomi Timur.

[1] Makalah untuk Seminar Bulanan ke-18 PUSTEP UGM, 6 Juli 2004.

Jika sistem nilai dan budaya Jawa ini masih kita uri-uri (pelihara) sampai sekarang, tentulah timbul pertanyaan mengapa kita mengajarkan ilmu ekonomi sejak kelas I SMP bahwa manusia adalah homo-ekonomikus, yang diidealisasi sebagai manusia rasional yang selalu mengejar untung sebesar-besarnya, dan jika ia mengkonsumsi barang apapun selalu mengejar kepuasan maksimum. Sebenarnya seorang sosiolog Jerman F. Tonnies mengingatkan adanya dua jenis masyarakat yaitu masyarakat paguyuban (gemeinschaft) dan masyarakat patembayan (gesellschaft), yang pertama berarti masyarakat “kolektif” yang masih menjunjung tinggi semangat gotong-royong dan tolong-menolong, sedangkan yang kedua berarti masyarakat individualisik yang setiap anggotanya lebih menonjolkan kepentingan diri sendiri, tidak peduli kepentingan orang lain.

Jika kini orang mulai sadar dan bertanya-tanya mengapa terjadi perkembangan pemikiran yang cenderung menjauhi tradisi dan budaya asli bangsa, dan orang mulai mengadopsi nilai dan budaya luar (Barat), ada baiknya kita gali lebih dalam berbagai sebabnya. Apa yang salah pada bangsa Indonesia yang rupanya “demi kemajuan” telah “menerima” dan menerapkan sistem nilai asing yang tidak dikenal dalam budaya luhur kita?

Dari Adam Smith ke Soekarno-Hatta

Sangat sedikit sarjana ekonomi di manapun, lebih-lebih di Indonesia, yang menyadari kekeliruan, bahwa Adam Smith dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi dunia semata-mata karena bukunya Wealth of Nations (1776). Karena kekeliruan ini maka kebanyakan sarjana ekonomi juga mengira bahwa julukan homo-ekonomikus pada setiap manusia merupakan satu-satunya pencirian asli atau khas Adam Smith. Akibatnya, banyak pakar yang menjadi “ekonom” setelah memperoleh kepakaran di luar bidang ilmu ekonomi, misalnya insinyur, sangat asing dengan pandangan Smith yang sebenarnya tidak pernah menutup-nutupi pandangan yang “mencurigai” perilaku dunia bisnis antara lain dengan ungkapan berikut:

People of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices (Adam Smith, 1776:144).

(Orang-orang yang berbisnis sama jarang bertemu, bahkan untuk bersenang-senang atau untuk mengisi waktu-waktu luang sekalipun, namun (kalau mereka ketemu) pembicaraan-pembicaraan mereka berakhir dengan persekongkolan melawan kepentingan umum, atau dengan menemukan cara-cara untuk menaikkan harga-harga)

Sebelum menulis buku Wealth of Nations sebenarnya Adam Smith, ketika 17 tahun lebih muda, menulis buku lain yang lebih “berat”, karena lebih “filosofis” yaitu The Theory of Moral Sentiments (1759). Dalam buku pertama ini Smith menyakinkan pembacanya bahwa setiap manusia sangat menyukai hidup sebagai warga masyarakat, yang berarti manusia tidak menyukai hidup yang berciri individualistik atau sekedar mementingkan diri sendiri.

Man it has been said, has a natural love for society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and through he himself was to derive no benefit from it.



(Telah dikatakan bahwa manusia memiliki sifat alamiah mencintai masyarakatnya, dan menginginkan dipeliharanya kesatuan umat manusia demi kebaikan manusia itu sendiri, meskipun ia sendiri tidak memperoleh manfaat sedikitpun dari padanya).

Jika kita baca sekaligus kedua buku Smith tersebut secara benar, sebagai satu kesatuan, harus disimpulkan bahwa Bapak Ilmu Ekonomi dunia ini bukanlah penganut paham dan penyebar ilmu ekonomi kapitalis liberal yang amoral. Paham liberalisme-imperialisme baru berkembang satu abad sesudah terbitnya buku-buku Adam Smith tersebut yaitu ketika kaum pemodal atau para pemilik modal Eropa Barat “merajalela” di seluruh dunia menjarah tanah-tanah jajahan sumber “harta karun” yang sangat bermanfaat bagi ibu negara (motherland).

Indonesia yang dijadikan negara jajahan selama 350 tahun melahirkan pemikir-pemikir ekonomi kebangsaan brilyan yang mampu menyadarkan bangsanya akan kejahatan-kejahatan ekonomi para penjajah. Ir. Soekarno yang berkali-kali menyatakan “tidak tahu ekonomi”, karena tidak pernah belajar ilmu ekonomi secara formal seperti rekan seperjuangannya, dan kelak juga koproklamator kemerdekaan dan Wakil Presidennya, Drs. Moh. Hatta, harus diakui menunjukkan pemahaman mendalam mengenai ekonomi Indonesia. Dalam bukunya Indonesia Menggugat yang merupakan pidato pembelaannya ketika diadili Landraad Bandung bulan Agustus 1930, Bung Karno menguraikan panjang lebar mengapa ekonomi rakyat Indonesia dihisap dan ditekan oleh pemerintah penjajah Belanda yang bersekongkol dengan perusahaan-perusahaan besar milik pemodal-pemodal Belanda. Namun yang diserang Bung Karno sebenarnya bukan pemerintah Belanda tetapi sistem kapitalisme dan imperialisme, satu paham atau satu isme yang telah “mencelakakan rakyat dan bangsa Indonesia”.

Kami memang pernah menyatakan rubuhkanlah imperialisme, rubuhkanlah kapitalisme! –kami memang pernah mengatakan “imperialisme jahat, kapitalisme angkara murka, imperialisme mencelakakan kita, kapitalisme merusak rakyat, dan lain-lain sebagainya.- tetapi adakah bisa jadi, bahwa kami memaksudkan dengan perkataan imperialisme itu pemerintah yang sekarang atau keamanan umum, adakah bisa jadi bahwa kami memaksudkan dengan kapitalisme itu bangsa Belanda atau bangsa asing yang lain?



Kapitalisme dan imperialisme, Tuan-tuan Hukim, kapitalisme dan inperialisme sebagai kami uraikan di awal kami punya pidato, dengan disokong dalil-dalil orang yang ternama, bukanlah bangsa Belanda, bukanlah bangsa asing yang lain, bukanlah kaum BB, bukanlah kekuasaan pemerintah, bukanlah suatu badan atau materi –kapitalisme dan imperialisme sebagai tiap-tiap perkataan yang berakhiran “isme” adalah suatu paham, suatu pengertian, suatu sistem!



Sistem ini yang mencelakakan, sistem ini yang jahat, sistem ini yang harus dirubuhkan, bukan bangsa asing, bukan pemerintah, bukan kekuasaan pemerintah! Amboi, adakah kami begito goblok, adakah kami kurang otak atau barangkali miring otak, mengira bahwa imperialisme = kekuasaan pemerintah, kapitalisme = bangsa asing? (Soekarno, 1930, Indonesia Menggugat, Departemen Penerangan, 1952: 177-178).

Demikian dengan mempelajari sejarah pemikiran ekonomi para perintis kemerdekaan bangsa dan para pendiri negara (founding fathers), anak-anak didik kita tidak seyogyanya diberi kesan keliru bahwa ilmu ekonomi hanya berkembang di Barat, dan hanya menjadi “olah pikir” pemikir-pemikir Barat, meskipun benar Adam Smith telah merenung dan menulis demi kemajuan kemanusiaan seluruh umat manusia. Jika Ilmu Ekonomi di tangan Adam Smith atau John Stuart Mill adalah untuk kemajuan kemanusiaan, “ilmu ekonomi” di tangan Soekarno-Hatta adalah alat perjuangan, perjuangan untuk meruntuhkan paham kapitalisme-imperialisme, yang telah benar-benar mencelakakan rakyat Indonesia. Bahwa akhirnya Soekarno dihukum 4 tahun penjara setelah gagal membela dirinya dengan berargumentasi ekonomi memperjuangkan rakyat kini telah menjadi sejarah, tetapi justru karena telah menjadi sejarah itulah, anak-anak kita harus mempelajari sejarah itu. Pertama, sebagai ucapan terima kasih dari generasi sekarang kepada para pejuang kemerdekaan kita, dan kedua, sebagai upaya untuk membuat pelajaran ilmu ekonomi relevan dengan kondisi sosial-ekonomi yang kini dihadapi bangsanya. Harus dicatat bahwa kondisi ekonomi kemarin dan apa yang dapat dilakukan generasi sekarang akan membentuk kondisi ekonomi bangsa di masa datang.

Dalam membahas pikiran-pikiran ekonomi Bung Karno dan Bung Hatta, tokh ada sementara pakar ekonomi kita yang menganggap pikiran-pikiran ekonomi Bung Hatta “kurang revolusioner” karena Hatta muda bersekolah di Negeri Belanda, sedangkan Soekarno muda (hanya) di Bandung sehingga justru lebih revolusioner.

Terhadap keraguan ini saya tidak sependapat. Pikiran-pikiran Bung Hatta sebagaimana dimuat dalam majalah Daulat Rakyat tahun 1934 dan seterusnya setelah kembali dari Belanda tetap revolusioner, membela dan memperjuangkan kepentingan ekonomi rakyat yang dibela Bung Karno tahun 1930 di Landraad Bandung. Dalam tulisannya Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (1934), Bung Hatta memprotes karena pemerintah penjajah hanya memikirkan kepentingan onderneming (perkebunan-perkebunan besar) yang terkena dampak depresi dunia sejak 1929, dan sama sekali tidak memikirkan kehidupan ekonomi rakyat yang juga terpukul yang justru lebih parah oleh depresi dunia yang sama.

Bagaimana juga perbedaan paham antara GG yang satu dengan GG yang lain , dalam satu fasal mereka mempunyai kesalaha yang sama, yaitu kemakmuran negeri senantiasa diukur kepada majunya onderneming-onderneming Barat yang ada dan yang bakal ditimbulkan. Dan ekonomi rakyat tidak pernah mendapat pimpinan yang sepatutnya.[2] (Hatta, 2002: 243)

2] Hatta, Moh., 1934, “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya”, dalam Daulat Rakyat No. 84, Tahun ke IV, 10 Januari 1934. Diterbitkan kembali dalam Daulat Rakyat Buku 2, 2002, Yayasan Hatta, Jakarta.

Kelebihan dan kemajuan Hatta dibanding Soekarno dalam analisis ekonomi memang jelas, karena Hatta yang belajar ilmu ekonomi dan mendapat kesempatan mempelajari usaha-usaha koperasi di Denmark mengembangkan gagasan-gagasan koperasi sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat.

Di dalam keadaan ekonomi kolonial semacam itu, di mana pergerakan kemerdekaan mencita-citakan Indonesia Merdeka yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur di kemudian hari, hiduplah keyakinan bahwa bangsa Indonesia dapat mengangkat dirinya keluar dari lumpur, tekanan dan hisapan, apabila ekonomi rakyat disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kooperasi.... Cita-cita kooperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamentil. (Hatta, 1983: 224, 228)


Metode Mengajar Ilmu Ekonomi

Seorang guru yang mengajar ilmu ekonomi, disamping harus menguasai ilmu yang diajarkan, juga diharapkan mengetahui metode mengajar yang baik dan tepat, sekaligus mampu menerapkannya. Ini memang bukan pekerjaan mudah, lebih-lebih mengingat sarana-prasarana pendidikan masih sangat tidak terpenuhi. Misalnya, sudah umum diketahui bahwa penghasilan guru-guru (dan dosen perguruan tinggi) sangat rendah sehingga jika guru hanya mengandalkan penghasilan tetap bulanan saja ia tidak dapat menghidupi keluarga. Sudah sering disebutkan bahwa gaji guru atau dosen-dosen perguruan tinggi kita rata-rata hanya 1/20 gaji guru dan dosen yang berpangkat sama di negara tetangga, Malaysia. Inilah salah satu alasan pokok mereka tidak (dapat) mencurahkan perhatian penuh pada pelaksanaan tugas-tugas pokoknya. Mereka harus “ngobyek” untuk menambah penghasilan, dan bagi dosen, mengajar di berbagai perguruan tinggi yang juga tumbuh menjamur di mana-mana termasuk di kota-kota kecil sekalipun, seperti di Sendawar, Ibu kota Kabupaten Kutai Barat yang baru berdiri sebagai kabupaten tahun 1999.

Sarana-prasarana bagi guru-guru sekolah lanjutan masih lebih buruk lagi, termasuk laboratorium dan perpustakaan yang tidak dimiliki, atau ada tetapi kondisinya tidak memadai, sehingga kebanyakan sulit disebut sebagai sekolah yang memenuhi syarat.

Salah satu kekurangan lain sebagai akibat dari buruknya sarana/prasarana pendidikan adalah penggabungan pemberian pelajaran yang seharusnya diberikan 2 atau 3 kali per minggu menjadi hanya sekali seminggu. Dan di perguruan tinggi, mata kuliah yang bernilai 3 SKS (satuan kredit semester) pun juga hanya diberikan 1 kali seminggu selama 120 menit, padahal di negara-negara yang sudah maju mata kuliah yang sama harus diberikan 3 kali per minggu @ 50 menit. Maka dapat disimpulkan betapa sangat sedikit materi/ pelajaran yang diperoleh atau diserap murid/mahasiswa setiap minggunya.

Ilmu ekonomi, tak boleh dilupakan adalah ilmu sosial yang harus secara lengkap diajarkan secara deduktif maupun induktif, yang oleh Alfred Marshall, Bapak Teori Ekonomi Neoklasik, diibaratkan 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan. Maka jika hanya satu metode saja yang dipakai akan pincang, dan hasilnya pasti mengecewakan. Karena hampir semua guru/dosen biasanya ingin “menghemat waktu”, maka dipilihlah metode yang paling mudah dan paling murah yaitu metode deduktif, dengan sepenuhnya berpegang pada buku teks (textbook), tanpa upaya apapun memberikan contoh-contoh data empirik dari lapangan atau lingkungan murid/mahasiswa setempat. Akibatnya seorang murid atau mahasiswa yang sudah lulus dengn nilai sangat baik dalam ilmu ekonomi tidak memahami kehidupan ekonomi di sekitar murid/mahasiswa, apalagi mengetahui cara-cara memecahkan masalah-masalah ekonomi masyarakat.

Pengajaran ilmu ekonomi dengan metode deduktif dan induktif sekaligus dapat dengan mudah dilakukan tetapi dengan mengkaitkannya dengan penelitian. Inilah yang dikenal dengan istilah teaching through research (mengajar melalui penelitian). Dalam cara mengajar yang demikian, murid/mahasiswa diajak meneliti oleh guru/dosen dalam “tim penelitian”, yang berarti guru/dosen juga terus-menerus “ikut belajar” bersama murid/mahasiswa. Inilah yang juga disebut problem-posing education (pendidikan dengan mengetengahkan masalah-masalah praktis pada peserta didik), yang dilawankan dengan banking education yang semata-mata berarti pemindahan/mendeposit ilmu pengetahuan kepada peserta didik.

Demikian kiranya jelas perlunya revolusi total sistem pendidikan imu ekonomi di sekolah-sekolah/perguruan tinggi kita, meskipun perubahan sistem itu memang mutlak harus dibarengi penyediaan sarana-prasarana yang benar-benar memadai.


Ilmu Ekonomi Multidisipliner

Guru-guru ilmu ekonomi yang serius pasti memahami adanya kaitan erat antara pelajaran ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial dengan cabang-cabang ilmu sosial lain seperti ilmu sosiologi, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu bumi (geografi), dan ilmu sejarah. Karena kaitan yang sangat erat antara berbagai cabang ilmu ini, maka mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara terpadu multidisipliner akan membawa hasil lebih baik.

Pada awal lahirnya, ilmu ini diberi nama political economy (ilmu ekonomi politik), dan bukan economics seperti sekarang. Bahkan sudah disebut di atas, buku Adam Smith yang menandai kelahiran ilmu ekonomi “modern” tidak diberi judul political economy apalagi economics. Tokoh-tokoh ekonomi klasik sesudah Smith yaitu J.S. Mill dan David Ricardo memberi judul buku mereka Principles of Political Economy, sedangkan T.R. Malthus memberi judul buku ekonominya Essay on Population.

Di Indonesia pakar ekonomi paling awal sesudah Moh. Hatta adalah Sumitro Djojohadikusumo, yang seperti halnya Hatta, belajar ilmu ekonomi di Negeri Belanda, Rotterdam, dengan menulis disertasi Masalah Kredit di Zaman Depresi (1943). Buku ilmu ekonomi yang ditulis Sumitro diberi judul Ekonomi Penbangunan (1955) dan Ekonomi Umum (1957) yang berarti bahwa menurut pandangannya tugas ilmu ekonomi bersifat makro yaitu membantu pemerintah menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat. Sumitro yang pendiri dan dekan pertama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) dikenal pula sebagai perintis The Jakarta School of Economics, yang menerapkan ajaran Keynes di Indonesia, yaitu mengajarkan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian nasional, atau membatasi kebebasan mekanisme pasar agar tidak merugikan masyarakat. Sumitro kemudian mendapat kesempatan menerapkan pikiran-pikirannya dalam kebijakan ekonomi praktis ketika beberapa kali dipercaya menjadi menteri (keuangan, perekonomian, perdagangan), dan terakhir 1968-1974 sebagai menteri perdagangan Kabinet Pembangunan I di bawah Presiden Soeharto.

Ketika Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada berdiri tahun 1955 (dipisah dari Fakultas-fakultas Hukum dan Sosial-Politik), dikenal 4 jurusan yaitu Agraria, Sosiologi, Kenegaraan, dan Perusahaan. Dibukanya 2 jurusan yaitu Agraria dan Sosiologi, menunjukkan keinginan menjadikan ilmu ekonomi relevan dengan masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat-bangsa. Lebih-lebih dengan jurusan ekonomi sosiologi berarti ada pengakuan kaitan erat antara ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi. Artinya, sebagaimana ditekankan oleh Adam Smith dalam TMS (Theory of Moral Sentiments), manusia sangat terikat pada masyarakat tempat ia hidup, dan perilakunya juga tidak berciri individualistik, tetapi justru dibentuk dan diwarnai oleh masyarakatnya.

Bahwa faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya amat sulit dipilah, digambarkan dengan baik oleh pengalaman teori dan praktek. Sajogyo, pensiunan Gurubesar sosiologi perdesaan IPB, pada rekfleksi kariernya bulan Desember 2003, menuturkan kembali pertukaran pikirannya dengan David Penny (alm), ekonom pertanian dari Australia, sebagai berikut:

Jika Anda ingin mengerti perekonomian negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami (Sajogyo, 2003:1).

Dari pernyataan ini tidak diragukan bahwa pengajaran ilmu ekonomi sebagai monodisiplin tidak mampu menjadikan siswa memahami apalagi memecahkan masalah-masalah kongkrit yang dihadapi masyarakat-bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain ilmu ekonomi hanya akan efektif sebagai pisau analisis jika digunakan bersama ilmu-ilmu sosial lain termasuk dan terutama ilmu politik, ilmu budaya, dan etika.


Mengorganisasi Materi Ajar Ilmu Ekonomi

Salah satu misi KBK adalah untuk memadukan penguasaan berbagai materi pelajaran sehingga siswa memiliki kompetensi lintas kurikulum, kompetensi umum, dan kompetensi dasar mata pelajaran. Indikator masing-masing kompetensi tersebut sudah dirumuskan Depdiknas dengan baik, normatif, dan komprehensif. Masalah muncul ketika harus mewujudkan kegiatan belajar-mengajar seperti apa yang dapat mendukung maksud-maksud di atas. Meskipun ada pembaruan capaian, metode, dan pendekatan, tokh kurikulum yang ada sekarang belum benar-benar mencerminkan perpaduan materi, sehingga metode pengajaran ilmu ekonomi masih bersifat monodisiplin, parsial, dan terkotak-kotak. Materi yang diajarkan masih sama, hanya terkesan “diotak-atik” tanpa pemikiran utuh yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Materi ilmu ekonomi masih konvensional, demikian pula dengan materi PPKn, Geografi, Sejarah, dan Sosiologi, belum terlihat hasil yang menunjukkan keseriusan perancang kurikulum dalam memadukan berbagai materi ajar tersebut sehingga menjadi kesatuan pembelajaran yang padat-terpadu.

Susunan Garis-Garis Besar Program Pengajaran Dan Penilaian Pada Sistem Semester (Ditjen Dikdasmen, 2003) menunjukkan masih kuatnya sekat-sekat antar mata pelajaran yang sebenarnya berkaitan erat. Materi pelajaran ekonomi yang komplek dan “berat-berat” disusun hanya dalam 3 halaman, sementara materi PPKn yang berupa nilai-nilai (value) disusun dalam 17 halaman. Mengapa tidak justru nilai-nilai (ideologi) ini yang dipadukan dalam materi-materi ilmu sosial, khususnya materi ekonomi? Dalam materi-ajar PPKn dikupas tuntas masalah-masalah keadilan sosial, asas kekeluargaan, sistem ekonomi Indonesia, trilogi pembangunan, nasionalisme (rasa kebangsaan) di era globalisasi, demokrasi ekonomi, dan bahkan juga Sistem Ekonomi Pancasila. Bukankah ini esensi kontekstualisasi ilmu ekonomi sesuai kondisi riil bangsa Indonesia? Mengapa materi-ajar ini justru sama sekali “asing’ dalam kurikulum materi-ajar ilmu ekonomi?

Di sisi lain, materi ekonomi dalam kurikulum “KBK” tersebut diberikan tanpa visi moral dan kontekstual yang jelas, “dogmatis”, dan bersifat “padat materi” ketimbang “padat nilai”. Dogmatis karena sejak pertama kali menerima pelajaran ekonomi siswa sudah dipaksa menerima kebenaran “dalil-dalil” ekonomi bahwa manusia adalah homo economicus, yang kebutuhannya tidak terbatas (keserakahan alam benda), dan sumber-sumber pemenuhannya terbatas. Dalam Pedoman Khusus Pengembangan Silabi dan Penilaian Mata Pelajaran Ekonomi (Dikmenum, 2003) sudah ditegaskan bahwa dalil itu merupakan kenyataan yang menjadi karakteristik mata pelajaran ekonomi. Ilmu ekonomi yang diarahkan pada analisis kelangkaan mendapat pembenaran dengan pernyataan bahwa “apabila sumber ekonomi keberadaanya melimpah (baca : tidak langka) maka ilmu ekonomi tidak diperlukan lagi bagi kehidupan manusia”. Inilah alasan tidak ditonjolkaanya bahasan mengenai “keadilan ekonomi” yang didasari kenyataan terdapatnya masalah kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan pendapatan.

Pengajaran PPKn tanpa dipadu ilmu (materi) ekonomi kongkrit tidak akan memiliki kekuatan apapun. Begitu pula sebaliknya, pengajaran ekonomi tanpa dipadu nilai-nilai, moral, dan etika dalam pelajaran PPKn akan kehilangan arah (visi). Hal ini berlaku pula bagi perpaduan materi ekonomi dengan materi ilmu-ilmu sosial yang diajarkan seperti sejarah, geografi, sosiologi, dan antropologi. KBK menuntut pengembangan metode mengajar induktif-empirik melalui kajian langsung di lapangan. Guru-guru ekonomi harus mampu bekerjasama dengan guru-guru ilmu sosial yang materinya berkaitan erat untuk mendisain kajian lapangan secara multidisipliner. Dengan cara demikian siswa tidak mendapat pemahaman ilmu ekonomi secara sepotong-potong, terpisah, bahkan terkadang saling bertolakbelakang.

Perpaduan ini tidak berhenti pada penyelenggaraan kajian lapangan secara bersama sama. Analisis kajian lapangan harus merupakan kesatuan yang utuh yang menggambarkan keterkaitan antara disiplin ilmu ekonomi dengan disiplin ilmu sosial lain dalam memecahkan dan mengamati suatu masalah tertentu. Mengorganisasikan materi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru dan siswa dapat dilakukan dengan tiga cara sekaligus. Pertama, guru ekonomi harus mempelajari materi-materi ilmu lain yang berkaitan erat dengan materi yang diajarkannya (sejarah, sosiologi, dan geografi). Kedua, guru ekonomi harus sering bertukar pikiran dengan guru-guru ilmu terkait untuk mengembangkan metode mengajar dengan pendekatan multidisipliner. Ketiga, guru ekonomi mengajar melalui diskusi kelas (satu kelas-satu topik) bersama-sama dengan guru ilmu-ilmu terkait.

Pendekatan multidisipliner tidak banyak membantu jika pengorganisasian materi pelajaran ekonomi tidak dilakukan secara tepat. Dalam buku Kurikulum dan Hasil Belajar – Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Ekonomi SMA dan MA (Puskur, Balitbang Depdiknas, 2002) dijelaskan bahwa pengorganisasian materi pelajaran ekonomi di SMA/MA dimulai dari “masalah-masalah ekonomi yang terjadi di lingkungan kehidupan yang terdekat hingga pada lingkungan yang terjauh”. Sepintas lalu pengorganisasian seperti ini mencerminkan pembelajaran berdasar lokalitas-kontekstual masalah riil yang dihadapi siswa. Namun, bukankah masalah antarindividu, keluarga, masyarakat dan daerah tidak seragam? Bukankah tingkat kepentingan (urgensi) masalah tersebut juga bisa berbeda-beda. Pengorganisasian materi yang demikian cenderung berorientasi pada masalah-masalah yang bersifat individualistik berkisar pada kepentingan pribadi (self interest). Maka dapat dimengerti bahwa materi pertama yang diajarkan adalah pilihan dan biaya peluang, diikuti maksimisasi keuntungan, perilaku produsen/konsumen dan seterusnya, bukannya masalah-masalah mendesak yang dihadapi masyarakat-bangsa Indonesia seperti kemiskinan, produktivitas rendah, dll.

Mengapa materi tidak diorganisasikan berdasar tingkat kedalaman masalah ekonomi yang dihadapi?. Pengorganisasian materi ajar seharusnya dimulai dari pemecahan masalah ekonomi terberat yang dihadapi rakyat, baik yang ada di sekitar siswa maupun yang terjauh sekalipun. Pengorganisasian seperti ini mensyaratkan perhatian pada masalah ekonomi yang dihadapi rakyat, yang dapat dirujuk pada cita-cita konstitusi.

Oleh karena itu, materi ajar yang sebaiknya dipelajari terlebih dulu adalah sejarah ekonomi, cita-cita kehidupan ekonomi dalam konstitusi (pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945, termasuk koperasi), dan sistem ekonomi. Dalam pokok-pokok bahasan tersebut secara implisit terkandung masalah-masalah ekonomi ysng dihadapi rakyat yaitu masalah kemiskinan dan ketimpangan (ketidakadilan ekonomi). Barulah kemudian analisis mendalam diperlukan untuk mempelajari teori-teori ekonomi, kegiatan ekonomi lokal, nasional, dan global, pasar, peran/kebijakan pemerintah, yang diajarkan dengan visi memecahkan masalah-masalah ekonomi sesuai amanat konstitusi yang telah dipelajari di awal pelajaran. Pembagian materi ekonomi di kelas 1, 2, dan 3 SMU dapat mengikuti pola ini dengan peluang untuk me-review pelajaran-pelajaran sebelumnya.

Beberapa guru ekonomi mengeluh mengapa di awal pelajaran mereka sudah diminta mengajar konsep biaya peluang yang mereka sendiri masih kurang paham. Setelah mereka mendapat “ceramah” tentang materi tersebut, mereka merasa bukannya makin “kompeten” tetapi justru makin tidak paham. Bagaimana halnya dengan siswa yang baru masuk ke SMU? Apakah guru dan siswa paham bahwa itulah masalah ekonomi terdekat yang dihadapinya? Jika ya, pastilah mereka tidak sulit menemukenali dan memecahkannya. Kenyataan ini makin menunjukkan bahwa pengorganisasian materi ekonomi dalam KBK tidak didasarkan pada argumentasi yang jelas dan tepat. Dalam era otonomi pendidikan, guru-guru ilmu ekonomi seyogyanya tidak lagi dipaksa menerima begitu saja kebenaran materi ekonomi dan pilihan pengorganisasiannya tanpa didasari pertimbangan ilmiah.

Ilmu Ekonomi dan Sistem Ekonomi

Mengapa kepada siswa diajarkan materi tentang sistem ekonomi? Pertanyaan ini terkait dengan idealisasi yang harus dipahami dan dimiliki oleh penyusun kurikulum dan guru ekonomi. Pengajaran suatu materi ekonomi harus didasarkan pada idealisasi atau visi tertentu baik yang bersifat normatif maupun yang bernilai sejarah. Ini mengikuti pandangan bahwa ilmu (materi) yang diajarkan tidaklah bebas nilai (value-free) melainkan justru sarat nilai. Oleh karena itu paham positivisme ilmu harus ditolak. Setiap kenyataan (das sollen) harus dikaitkan dengan idealitanya (das sein) begitupun sebaliknya. Pandangan ini menjawab keluhan guru-guru ilmu ekonomi yang merasa menghadapi kesulitan dalam menyelaraskan kenyataam dengan materi sistem ekonomi nasional yang akan diajarkan. Guru ekonomi harus mempunyai visi dan idealisme mengapa sistem ekonomi nasional begitu penting untuk diajarkan kepada siswa. Mengajarkan sistem ekonomi patut dipahami sebagai upaya mengembangkan sistem ekonomi nasional yang sesuai dengan tujuan nasional yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepada siswa perlu disampaikan pemahaman bahwa sistem tidak lain dari aturan main. Jadi sistem ekonomi adalah aturan main yang menjadi pedoman umum tindakan-tindakan setiap pelaku ekonomi.

Tujuan mengajarkan materi sistem ekonomi harus dikuasai sebaik penguasaan guru atas materi itu sendiri. Tanpa itu pendidikan ekonomi hanya bermakna sebagai ajang transfer materi sistem ekonomi yang cenderung pragmatis, formalistik, dan ritualistik. Pragmatisme ini mengakibatkan merosotnya kualitas pendidikan ilmu ekonomi dengan hasil tidak dikuasainya pemahaman nilai dan materi sistem ekonomi oleh siswa. Tujuan untuk memahamkan siswa terhadap sistem ekonomi nasional yang ideal dan yang riil pun sulit terwujud. Pengajaran sistem ekonomi sebagai upaya mengembangkan dan memperbarui sistem ekonomi yang khas Indonesia justru berubah menjadi tempat mengukuhkan dominasi sistem dan paham ekonomi konvensional. Gagasan-gagasan sistem ekonomi nasional dari para pemikir-pemikir ekonomi bangsa sendiri tidak mendapat perhatian yang memadai. Ini melanggengkan kondisi status quo di mana pendidikan ilmu ekonomi merupakan produk sistem ekonomi yang berkembang, bukannya sistem ekonomi yang merupakan hasil dari proses pendidikan ekonomi di setiap tingkatan.

Materi apa tentang sistem ekonomi yang seharusnya diajarkan? Pertanyaan ini mengarahkan pilihan pada materi-materi ajar yang relevan dan bermanfaat bagi siswa, khususnya dalam kontek pengajaran sistem ekonomi. Relevan berarti materi sistem ekonomi harus bersifat kontekstual, mengajarkan idealita sekaligus realita sistem ekonomi yang dikaitkan dengan sistem nilai sosial-budaya bangsa Indonesia. Untuk itu materi Sistem Ekonomi Pancasila menjadi alternatif yang lebih masuk akal untuk diajarkan dan dikembangkan bersama mulai tingkat sekolah lanjutan. Ini memang memerlukan perbandingan dengan materi sistem ekonomi lain yang berkembang di dunia (Kapitalisme-Sosialisme-Komunisme) sehingga pemahaman siswa lebih komprehensif. Siswa diharapkan memahami ciri-ciri dan kekuatan/kelemahan setiap sistem ekonomi, mampu menentukan pilihan sistem yang sesuai dan terbaik bagi bangsa Indonesia, dan siswa kemudian bersemangat untuk menggali (memperdalam pemahaman) sistem ekonomi yang khas Indonesia.

Kadang-kadang pertimbangan pragmatis lebih menentukan dalam menyusun materi-ajar (silabi) dibanding pertimbangan ideologis (esensial). Mungkin karena dinilai tingkat kesulitan materinya rendah, tidak begitu mendesak diajarkan, dan tidak sering dijadikan bahan ujian (perguruan tinggi), materi sistem ekonomi dalam KBK ditempatkan di kelas 3, sebagai pelajaran terakhir. Tentu saja pengajarannya tidak mungkin efektif karena siswa sudah mulai berkonsentrasi pada ujian akhir dan tes untuk masuk perguruan tinggi. Di kelas 1 materi sistem ekonomi ini hanya sedikit sekali disinggung dengan penekanan lebih pada analisis masalah ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi. Sistem ekonomi terkait erat dengan sejarah ekonomi yang perlu dipahami sejak awal oleh siswa sebagai dasar analisis ekonomi lebih lanjut. Sistem ekonomi memuat ideologi, perangkat nilai, moral, dan aturan-aturan ekonomi yang dapat dijabarkan dalam bahasan-bahasan konsep dan teori ekonomi. Materi sistem ekonomi sangat strategis, komplek, dan tidak semudah anggapannya sebagai materi yang hanya sekedar dihapalkan.

Bagaimana cara mengajarkannya? Pertanyaan ini mencakup pilihan metode-metode pengajaran yang harus mendekatkan pada pencapaian idealisasi dan tujuan pembelajaran. Patut disadari bahwa guru ilmu ekonomi harus memahami pentingnya pengajaran sistem ekonomi sehingga ia selalu berupaya mengembangkan pemahaman materinya. Guru yang menguasai materi akan mudah menerapkan inovasi metode mengajar yang memudahkan siswa dalam menguasai materi. Guru ekonomi akan menyadari perlunya kajian langsung di lapangan untuk membantu siswa mengamati praktek-praktek ekonomi yang menjadi satu kesatuan sistem ekonomi. Demikian pula halnya, siswa akan menemukan masalah-masalah baik dalam upaya-upaya pengembangan sistem ekonomi nasional maupun masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sebagai akibat kelirunya sistem ekonomi yang diterapkan seperti masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Mereka harus memikirkan cara-cara memecahkan masalah tersebut sekaligus upaya-upaya mengembangkan sistem ekonomi yang bermoral, demokratis, dan berkeadilan sosial.

Kelas harus dihidupkan dengan diskusi-diskusi sistem ekonomi yang merujuk pada materi-materi dari buku-buku bacaan (reading), pendapat pakar-pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi Indonesia, dan buku-buku teks ekonomi. Dalam kesempatan tertentu dapat dihadirkan tokoh/pemikir ekonomi yang peduli dengan masalah pengembangan sistem ekonomi di Indonesia. Pembahasan materi sistem ekonomi perlu dikaitkan dengan topik-topik sosial-ekonomi aktual sehingga lebih menarik bagi siswa. Pada akhirnya siswa akan merasakan banyak manfaat dari belajar mengenai ulmu ekonomi dan sistem ekonomi.


Penutup

Setelah 10 tahun kurikulum 1994 diberlakukan, pakar-pakar pendidikan dalam koordinasi Depdiknas bersepakat untuk melaksanakan kurikulum baru yang disebut KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kurikulum baru ini dianggap merupakan “kemajuan besar” dibanding kurikulum 1994 karena diharapkan mampu menghasilkan siswa yang tidak saja berpengetahuan, tetapi sekaligus mampu berbuat, bertindak atau mengerjaka, artinya disamping pendidikan menghasilkan pengetahuan (kognitif) juga afektif (perilaku) dan psikomotorik (bertindak).

Untuk dapat melaksanakan KBK guru juga harus lebih kompeten artinya memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, yang jauh lebih lengkap ketimbang sekedar sebagai guru. Ini berarti guru pun tidak bisa lagi berperan sebagai sekedar pemberi atau pemindah pengetahuan kepada siswa, tetapi harus selalu siap menanggapi pertanyaan apapun yang diajukan siswa setiap waktu.

Mengingat permintaan akan kesiapan guru dalam KBK yang jauh lebih baik dan unggul, guru harus bekerja lebih keras menyiapkan diri sebelum menghadapi murid di kelas setiap hari. Sebaliknya guru dalam KBK harus meingkat fungsinya menjadi guru plus fasilitator yang justru harus bekerja keras memotivasi murid untuk berani bertanya apa saja kepada guru. Jika sistem KBK ini dapat terlaksana dengan baik tidak akan lagi didengar keluhan seorang guru di Kutai Barat (berasal dari Bantul) bahwa “selama 15 tahun mengajar di sana tidak sekalipun murid-muridnya mengajukan pertanyaan kepadanya di kelas” (Mei 2004).

Salah satu kelemahan KBK barangkali adalah justru pada kesiapan sarana-prasarana untuk menjamin tercapainya hasil. Bagaimana mungkin KBK dapat berasumsi setiap guru siap melaksanakan tugas barunya tanpa jaminan dapat disediakan sarana/prasarana yang diperlukannya. Mengapa tanpa persiapan cukup seorang guru “tiba-tiba” dapat berubah menjadi guru plus fasilitator?



06 Juli 2004


Daftar Pustaka

Hatta, Moh., 2002, Daulat Rakyat Buku 2, Terbitan Khusus Satu Abad Bung Hatta, Yayasan Hatta, Jakarta.

Hausman, Daniel M., 1994, The Philosophy of Economics, Cambridge UP.

Mubyarto, 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Aditya Media, Yogyakarta.

Mubyarto & Awan Santosa, 2004, Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah-sekolah Lanjutan, Aditya Media, Yogyakarta.

Oliver, J.M., 1973, The Principles of Teaching Economics, Heinemann Education Books Ltd.

Smith, Adam, 1759, The Theory of Moral Sentiments, Washington D.C. Regnary Publishing.

Smith, Adam, 1776, The Wealth of Nations, The University of Chicago Press, Chicago.



Kembali ke Menu Sebelumnya...

Copyright © 2006 Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan - Universitas Gadjah Mada
website: http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/
e-mail: ekonomikerakyatan@ugm.ac.id

Sabtu, September 13, 2008

Pondasi ekonomi kreatif

Tuesday, June 17, 2008
Fondasi Ekonomi Kreatif
Source: Dataworks
(Dataworks Indonesia, 12/09/2006)
Saya tidak paham apa yang dimaksud dengan industri kreatif. Indonesia sudah tertinggal beberapa langkah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam mengembangkan ekonomi kreatif. Apakah Indonesia mempunyai strategi yang jitu agar tidak tertinggal jauh? Apakah pemerintah dapat berperan dalam mewujudkan ekonomi kreatif yang berdaya saing? Demikian contoh sederetan pertanyaan dari para perserta seminar bertema "Membangun fondasi ekonomi kreatif di Jawa Barat" yang diselenggarakan oleh Dinas Disperindag Jabar, di Hotel Grand Serella, Sabtu (11/8) lalu.

Seminar sehari ini adalah serangkaian kegiatan sosialisasi yang ditujukan untuk meletakkan fondasi industri kreatif di Jawa Barat ("PR", 13/8). Sehari sebelumnya Gubernur Danny Setiawan membuka Kick-Fest II (Kreative Independent Clothing Kommunity Festival) yang berlangsung 10-12 Agustus sebagai ajang pengunjukan diri industri kreatif kaus dan pakaian jadi (distro) di Bandung. Dalam sambutannya, Danny menekankan pentingnya kebersamaan yang seirama (sauyunan) untuk mewujudkan Jabar sebagai provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota tahun 2010. Jabar memiliki segudang potensi seperti modal manusia (ilmuwan, kreator, inovator), sumber daya alam, dan industri strategis. Justru yang masih lemah, menurut Danny, adalah modal sosial di antara pelakunya.

Dengan fokus yang sama yaitu kesejahteraan Jabar, kearifan lokal saling asah, asih, dan asuh berguna memantapkan pembangunan ekonomi Jabar yang bukan hanya bertumpu pada bidang industri manufaktur, agrobisnis, dan telematika tetapi bisnis yang berbasis kreavitivas. Jabar sudah dikenal sebagai pusat fashion bukan hanya warganya yang modis tetapi juga tempat lahirnya para desainer yang mampu memenuhi permintaan pasar yang semakin kompetitif. Danny berharap munculnya teladan (best practice) kewirausahaan bidang industri kreatif yang unik di setiap daerah kabupaten/kota. Khusus untuk Kota Bandung, gubernur berpesan perlunya sinergi untuk mengoptimalkan potensi industri kreatif dengan kebijakan, manajemen, tata ruang kota, dan tenaga kerja yang terpadu.

Pada kesempatan ini diberikan penghargaan kepeloporan dalam industri kreatif dan desain terbaik. Penghargaan kepeloporan industri kreatif diberikan kepada Dr. H. Pribadi Tabrani dan Marius Widyarto Wiwied. Dr. Tabrani adalah guru besar FSRD ITB yang berjasa dalam pendidikan seni rupa dan desain komunikasi visual dengan mengajarkan generasi muda untuk selalu berpikir kreatif (Cikal Bakal FSRD ITB, "PR", 30/7). Marius adalah pelopor kaus (T-shirt) bergambar dengan merek C59 yang telah dikenal oleh khalayak ramai di Indonesia dan memperoleh banyak penghargaan bergengsi (www.c59.co.id).

Sedangkan desain terbaik yang terdiri atas tiga kategori dimenangkan oleh Mahanagari untuk kategori desain produk, Fast Forward Records untuk kategori pelopor tren (trend setter), dan Dataworks Indonesia untuk kategori perusahaan inovatif. Desain produk Mahanagari secara kosisten mengangkat kekhasan budaya Parahyangan, rasa kecintaan Jabar, dan sejarah Bandung ke berbagai macam bentuk pakaian dan aksesori seperti kaos, pin, gantungan kunci, poster, kartu pos, termasuk buku-buku bertema budaya lokal. Fast Forward Records (www.ffwdrecords.com) mendorong perkembangan musik indie sejak tahun 1999 dengan mencari bakat dan telah merilis 9 album (lima di antaranya rilis internasional). Kelompok musik Mocca adalah yang paling berhasil dengan album pertama "My Diary" terjual 80.000 kaset dan 8.000 keping CD.

Dataworks Indonesia (www.dataworks-indonesia.com) mengembangkan perangkat lunak untuk industri pakaian indie sejak tahun 2004. DMS 2005 adalah perangkat lunak sistem keuangan produk yang telah digunakan oleh 57 distro dengan jumlah 83 lisensi yang terjual. Pada pertengahan 2006, Dataworks merilis layanan suavecatalogue.com dan situs e-commerce yang digunakan oleh 10 perusahaan pakaian. Produk yang terbaru adalah CMS 2007 yang dapat membantu identifikasi produk, distribusi, dan pelaporan keuangan.

Pada pembukaan seminar keesokan harinya, Kadis Disperindag Jabar Agus Gustiar memaparkan, Jabar telah menggoreskan tonggak sejarah industri kreatif di Indonesia dengan mendukung pembinaan inovasi produk kreatif bernilai tambah tinggi. Kota Bandung adalah pelopor produk kaus di tahun '70-an. Setelah mengalami pasang surut di tahun '80-an, industri ini bangkit kembali di tahun '90-an dengan distro, aksesori, merek, desain, dan bahan baku yang lebih variatif. Agus menekankan bahwa membangun fondasi industri kreatif merupakan upaya bersama untuk promosi, pendataan merek, penyediaan tenaga ahli, perbaikan teknis dan manajemen, akses pemodalan, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Karena Jabar kaya akan keanekaragaman budaya, talenta, dan balai besar, industri kreatif layak menjadi titik sentral ekonomi Jabar. Tujuan pelaksanaan seminar, menurut Agus, tidak lain adalah mempersiapkan fondasi yang lebih kokoh melalui sosialisasi kebijakan pemerintah pusat yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY, menumbuhkan wawasan nilai strategis industri kreatif, memahami potensi industri kreatif saat ini, dan menjaring usulan dari pengusaha, pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat luas.

Cetak biru

Dirjen Industri Kecil dan Manengah (IKM) Departemen Perindustrian RI, M. Sakri Widhianto menyajikan peranan Departemen Perindustrian dalam mengembangkan industri kreatif berbasis budaya dan warisan budaya. Menurut Sakri, Presiden SBY adalah penggagas bahwa pengembangan ekonomi baru harus berdasarkan kekayaan alam, budaya, dan warisan budaya Indonesia. Secara spesifik, Presiden mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang memadukan gagasan, seni, dan teknologi. Cetak biru pengembangan ekonomi kreatif 2007-2011 berhasil disusun berkat peran serta dari Kadin, pengamat ekonomi, para pakar dari FSRD ITB, dan kementerian terkait dari seminar dan dialog Pekan Produk Budaya Indonesia 11-15 Juli 2007.

Konsep awal dari dokumen ini membuat delapan program berikut dengan tujuan, hasil yang diharapkan, dan pihak yang bertanggung jawab termasuk peran asosiasi. Kedelapan program tersebut adalah program sosialisasi, program identifikasi (pemetaan, basis data, riset ekonomi kreatif, skala prioritas), perlindungan hukum (inpres, sosialisasi HKI), pendidikan (kurikulum pendidikan budaya yang kreatif dan inovatif), program kelembagaan, promosi dan pemasaran (aktivasi pasar), infrastruktur (komunikasi, transportasi, prasarana pelatihan dan produksi), dan insentif (festival, kredit, perizinan, kontes). Sakri menyatakan setelah konsep ini disempurnakan akan diterbitkan dalam instruksi presiden.

Pembicara kedua adalah Poltak Ambarita, Kasubdit Informasi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri yang memaparkan kebijakan pengembangan Indonesia Design Power (IDP) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia. Fokus dari desain adalah merek, pengemasan, dan desain. Indonesia Design Power (IDP) adalah pendayagunaan desain untuk meningkatkan kualitas, memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saing produk Indonesia berbasis kekayaan intelektual dan sumber daya alam yang dilakukan melalui inovasi bersumber dari budaya dan warisan budaya.

Alasan pembentukan IDP adalah terutama karena era perdagangan bebas yang menuntut keterbukaan pasar (tidak ada proteksi), tuntutan sertifikasi produk (seperti ecolabelling, fair trade, dll.), membuat produk lebih berkualitas, berdaya saing tinggi dan bernilai tambah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonsia. Peran dari dinas perdagangan adalah melakukan aktivasi, pendataan, dan pembinaan industri kreatif di wilayahnya masing-masing.

Selain kedua pembicara di atas, seminar ini menampilkan empat pembicara lainnya. Gustaff H. Iskandar (Common Room Networks Foundation) yang menyajikan pemberdayaan jaringan pelaku ekonomi kreatif sebagai strategi pembentukan basis ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Achmad D. Tardiyana (Urbane Indonesia) menegaskan bahwa Jawa barat harus menjadi koridor ekonomi kreatif. Togar Simatupang (SBM ITB) menyampaikan konsep pengembangan industri kreatif di Jawa Barat.

Salah satu pembicara pengusaha kreatif yang berhasil adalah Fiki Chikara Satari. Usahanya dimulai awal tahun 1998 dengan 3 orang staf dan penjualan perseorangan. Pada tahun 2006 sudah membuka toko dan outlet berjalan dengan nama Airbus One. Fiki bercerita tidak ada rumus pasti dalam bisnis distro. Ide bisa muncul dari mana saja dan perlu pergaulan yang luas untuk memperkaya pengetahuan. Tetapi, ide ini perlu disertai dengan keahlian manajerial seperti pemasaran, penganggaran, operasi, keuangan, kebijakan harga jual dan diskon, dan aspek legalitas usaha.

Sumbang saran

Peranan pemerintah masih sangat besar dalam meletakkan fondasi ekonomi kreatif. Tindak lanjut seminar dan kerjasama hendaknya terus digulirkan oleh para pemegang kepentingan. Dengan komunikasi yang intensif diharapkan pemerintah benar-benar berfungsi sebagai regulator, katalisator, dan fasilitator yang menumbuhkan industri kreatif. Supaya tidak kehilangan momentum, beberapa strategi yang dapat disarankan adalah sebagai berikut. Perlunya forum ekonomi kreatif yang dapat menghimpun pelaku industri kreatif supaya jangan jalan sendiri-sendiri.

Forum ini bertanggung jawab menjabarkan cetak biru ekonomi kreatif nasional ke dalam cetak biru industri kreatif Jawa Barat dan Kota Bandung. Dinas, asosiasi, perhotelan, dan pendidikan juga perlu duduk bersama membuat agenda tahunan apa yang perlu ditampilkan oleh Jabar atau Kota Bandung.

Ruang berekspresi perlu disediakan oleh pemerintah kota misalnya Gedung Sate atau kawasan Cilaki yang dapat digunakan hari Sabtu-Minggu untuk komunitas kreatif supaya gagasan dan pasar berkembang pesat. Gasasan lainnya adalah mencari kota yang cocok dengan komunitas Bandung sebagai sister city dalam mengembangkan industri kreatif.

Dewan kota juga perlu mengeluarkan payung hukum atau peraturan daerah kalau industri kreatif mau dijadikan salah satu komoditas unggulan Kota Bandung. Proteksi karya kreatif terutama warisan budaya perlu terus ditingkatkan melalui inventarisasi, pengkajian, direktori, promosi, pendaftaran ke lembaga dunia, dan penegakan hukum.

Sudah saatnya perguruan tinggi berbasis kreatif yang jumlahnya lebih dari 20 di Kota Bandung dapat bekerja sama dalam mendorong tumbuhnya komunitas kreatif melalui pengklasteran dan kolaborasi riset. Mereka perlu turut dalam memecahkan permasalahan teknis, modal, dan pasar industri kreatif. Sekolah-sekolah kejuruan dan balai-balai pelatihan kerja dapat diperkenalkan dengan industri kreatif untuk mendukung kegiatan produksi dan kreasi. Promosi media sangat penting terutama memberdayakan televisi daerah. Demikian juga dengan penyediaan beasiswa dan penghargaan perlu terus digulirkan oleh pemerintah daerah.

Oleh Dr. TOGAR M. SIMATUPANG
Penulis, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, Bandung.
PIKIRAN RAKYAT - 28 Agustus 2007
Subscribe in a reader

Posted by Andi S. Boediman at Tuesday, June 17, 2008
Labels: bandung, creative city
0 comments:
Post a Comment
Links to this post
Create a Link
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)


About Me
Andi S. Boediman
Jakarta, Indonesia
As a Strategic Innovation Consultant, I am involved in various initiatives in Creative Industry, such as Digital Studio–School of Visual Communication, Admire–Integrated Marketing Communication, FGD - promotion, publishing & packaging, Ideopoliz creative cluster, and many others.
View my complete profile

cetak biru ekonomi kreatif

DEPARTEMEN PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MEDIA BRIEFING
Pusat HUMAS Departemen Perdagangan
Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110
Tel: 021-3858216/Fax: 021-3812016
www.depdag.go.id
Pekan Produk Budaya Indonesia Ke-2:
Momentum Peluncuran Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia
Jakarta, 29 Mei 2008 – Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, hari ini mengadakan media briefing mengenai pelaksanaan konvensi dan seminar dalam rangka Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI) 2008. PPBI ini akan diselenggarakan pada 4-8 Juni 2008, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Bertempat di Jakarta Convention Center (JCC), PPBI 2008 akan dibuka oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan rencananya ditutup oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Pada kesempatan tersebut akan diserahkan Cetak Biru Ekonomi Kreatif oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kepada Presiden RI. Buku Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia dimaksud selanjutnya akan diserahkan oleh Presiden kepada Menko Kesejahteraan Rakyat untuk diteruskan kepada para menteri terkait agar ditindaklanjuti dengan menyusun kegiatan yang lebih konkrit dalam rumusan-rumusan rencana aksi yang terukur, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
Penyerahan Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia ini, menandai era baru pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia, yang diharapkan akan menjadi tumpuan bangsa Indonesia di masa depan.
Kegiatan PPBI 2008 ini diselenggarakan secara terkoordinasi lintas departemen dan lembaga terkait lainnya, yaitu Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Komunikasi dan Informatika, Kementerian Negara BUMN, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Dewan Kerajinan Nasional, serta KADIN Indonesia.
Acara yang mengambil tema “Warisan Budaya Bangsa, Inspirasi Kebangkitan Ekonomi Kreatif Indonesia” ini bertujuan:
1. Mendorong dan mempercepat proses pengembangan kesadaran untuk menyelamatkan, melestarikan, melindungi dan mengeksplorasi warisan budaya bangsa melalui inovasi dan kreativitas untuk pembangunan bangsa.
2. Menggalang persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendekatan kebudayaan dan kreativitas.
3. Membangun citra positif bangsa Indonesia yang berjatidiri karena didukung oleh kecintaan, kebanggaan serta keyakinan terhadap kekayaan, potensi dan keahlian yang bersumber dari warisan budaya bangsa dan kreativitas yang berdaya saing tinggi di era globalisasi, mendorong pertumbuhan pariwisata, perdagangan dan investasi.
4. Membangun industri masa depan yang mampu menciptakan produksi barang-barang dan jasa-jasa inovatif berbasis warisan budaya bangsa dan kreativitas yang mampu menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan devisa.
Kegiatan utama PPBI meliputi konvensi, pameran, gelar budaya dan pemberian piagam penghargaan.
1. Konvensi yang bertema “Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia” terdiri dari:
• Seminar dengan topik “Visi Indonesia dalam Pengembangan Ekonomi Gelombang Keempat: Warisan Budaya dan Ekonomi Kreatif” yang akan melibatkan sekitar 70 narasumber dari dalam dan luar negeri, diantaranya Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Ir. Jero Wacik, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, John Hartley pakar ekonomi kreatif dari Queensland University, Kittiratana Pitipanich dari Thailand Creative and Design Center, Prof. Martin Reiser dari Nanyang Technology University, Ono W. Purbo dan Sardono W. Kusumo dari kalangan intelektual, serta Rachmat Gobel dari kalangan pengusaha.
• Lokakarya terdiri dari 14 sesi yang mewakili setiap subsektor industri kreatif dalam sesi yang , yaitu periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fesyen, film, video dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan.
Peserta lokakarya berjumlah sekitar 700 orang yang terbagi dalam 14 sub sektor (masing-masing subsektor 50 orang), terdiri dari: pelaku budaya, pelaku industri kreatif Indonesia, pelaku usaha, KADIN Indonesia, birokrat dari pusat, provinsi, pemerintah kota/kabupaten, akademisi, departemen terkait, asosiasi terkait, pers, dan sebagainya.
Lokakarya ini menindaklanjuti Forum Group Discussion (FGD) 14 subsektor industri kreatif yang diselenggarakan secara intensif.
Dalam membuat kerangka kerja Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia, Departemen Perdagangan menggunakan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai model/acuan yang akan membawa industri kreatif dari titik awal (origin point) menuju tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia 2030 (destination point). Bentuk dari Model Pengembangan Ekonomi Kreatif adalah layaknya sebuah bangunan yang akan menguatkan ekonomi Indonesia, dengan landasan, pilar dan atap sebagai elemen-elemen bangunan tersebut, yaitu: industry, technology, resources, institution, financial intermediary.
Landasan industri kreatif adalah sumber daya manusia (people) Indonesia yang merupakan elemen terpenting dalam industri kreatif, sebagai peran sentral dibandingkan faktor-faktor produksi lainnya. Aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif adalah cendikiawan (intellectuals), bisnis (business) dan pemerintah (government) yang disebut sebagai sistem ‘triple helix’. Hubungan yang erat, saling menunjang dan bersimbiosis mutualisma antara ketiga aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar-pilar model industri kreatif akan menghasilkan industri kreatif yang berdiri kokoh dan berkesinambungan.
• Dalam sidang pleno ekonomi kreatif akan dirumuskan hasil seminar dan lokakarya “Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia” dan “Penguatan Pondasi dan Pilar Industri Kreatif Menuju Sasaran Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015”. Sidang pleno ini akan dipimpin oleh Menteri Perdagangan.
• Dialog dengan para duta besar terdiri dari dua sesi dengan topik “Peluang dan Tantangan Ekspor Produk Budaya”. Peserta dialog antara lain pelaku budaya, pelaku industri kreatif, pelaku usaha, KADIN Indonesia, birokrat, akademisi, departemen terkait, asosiasi terkait, pers, dan lain-lain.
• Diskusi dan tukar informasi juga dilakukan dengan beberapa pemerintah daerah yang bukan saja telah memiliki dan melaksanakan roadmap pengembangan ekonomi kreatif di daerahnya, seperti Bandung, Yogyakarta, Solo dan Bali.
• Klinik konsultasi meliputi konsultasi mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual, desain dan kemasan, klinik bisnis, pengembangan dan pelatihan ekspor, klinik pembiayaan, serta klinik film.
• Anjungan pembiayaan memberikan pelayanan konsultasi tentang kredit mikro, kecil, menengah dan ventura, simpan pinjam, kredit investasi tanpa agunan, program kemitraan.
• Anjungan Perguruan Tinggi dan Sekolah menampilkan karya-karya kreatif dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah kejuruan di Indonesia.
• Pelatihan meliputi pelatihan desain dan kemasan untuk produk kerajinan, teknik membatik, teknik negosiasi dan prosedur ekspor.
2. Pameran menampilkan 36 kategori produk ekonomi kreatif dalam 725 stan, yang meliputi produk kerajinan, fesyen, kuliner, furnitur, musik, film, periklanan, piranti lunak, animasi, fotografi, desain grafis, desain interior, lukisan, dan sebagainya.
Di zona produk makanan akan ditampilkan tumpeng raksasa “tempo doeloe dan masa kini” yang akan didaftarkan dalam rekor MURI.
Pameran juga dilengkapi dengan beberapa kegiatan demo seperti demo membatik, menenun, membuat ukiran dan perhiasan.
3. Gelar Budaya akan diselenggarakan selama pameran berlangsung yang meliputi seni tari, musik, peragaan busana dan teater, pertunjukan film, serta pameran dan lelang lukisan.
4. Piagam Penghargaan akan diberikan kepada para perajin dan seniman yang berpartisipasi dalam PPBI 2008, yang produknya atau karya seninya dinilai paling inovatif dan kreatif oleh Dewan Juri. Penghargaan juga diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang dinilai telah berjasa dalam pengembangan seni budaya dan kerajinan nasional.
“Kami berharap pelaksanaan PPBI 2008 ini dapat mendorong optimisme baru menyongsong masa depan yang lebih baik dan meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap budaya Indonesia,” tegas Mendag.
-selesai-
Informasi lebih lanjut, hubungi:
Srie Agustina
Kepala Pusat Humas
Departemen Perdagangan
Tel: 021-3858216
Fax: 021-3812016
Email: kahumas@depdag.go.id
srie_agst@yahoo.co.id

kreatif dan kepemimpinan

Kota Kreatif dan Kepemimpinan
Contributed by Administrator
Thursday, 12 June 2008
Last Updated Thursday, 12 June 2008
MENJADIKAN BANDUNG KOTA KREATIF: BUTUH PEMIMPIN DAN BIROKRASI YANG INOVATIF Oleh: Hetifah Sj
Siswanda (Ketua Ikatan Alumni Planologi ITB) Warga kota yang cerdas, memiliki motivasi, imajinasi dan kreativitas
adalah sumber daya utama dari kota seperti Bandung. Merekalah yang akan menentukan masa depan kota dan
kemampuan kota untuk beradaptasi dan bertahan dari berbagai transisi dan krisis. Dalam situasi krisis seperti saat ini,
banyak solusi lama tidak dapat bekerja lagi.Namun mampu atau tidaknya suatu kota mencari solusi dan melampaui
krisis tersebut, selain tergantung warganya, juga sangat tergantung pada orang-orang yang diberi amanat untuk
merencanakan dan mengelolanya. Apakah pimpinan dan birokrasi kota bisa berpikir, merencana, dan bertindak secara
kreatif dan menjadikan hal-hal inovatif menjadi realitas atau tidak, adalah satu tantangan kota-kota masa kini.
MENJADIKAN BANDUNG KOTA KREATIF: BUTUH PEMIMPIN DAN BIROKRASI YANG INOVATIF Oleh: Hetifah Sj
Siswanda (Ketua Ikatan Alumni Planologi ITB) Warga kota yang cerdas, memiliki motivasi, imajinasi dan kreativitas
adalah sumber daya utama dari kota seperti Bandung. Merekalah yang akan menentukan masa depan kota dan
kemampuan kota untuk beradaptasi dan bertahan dari berbagai transisi dan krisis. Dalam situasi krisis seperti saat ini,
banyak solusi lama tidak dapat bekerja lagi.Namun mampu atau tidaknya suatu kota mencari solusi dan melampaui
krisis tersebut, selain tergantung warganya, juga sangat tergantung pada orang-orang yang diberi amanat untuk
merencanakan dan mengelolanya. Apakah pimpinan dan birokrasi kota bisa berpikir, merencana, dan bertindak secara
kreatif dan menjadikan hal-hal inovatif menjadi realitas atau tidak, adalah satu tantangan kota-kota masa kini. Perlu
kepercayaan diri Hal pertama yang perlu ada adalah adanya rasa percaya diri dari pemimpin bahwa persoalanpersoalan
perkotaan yang nampak rumit sesungguhnya masih bisa dicari jalan keluarnya melalui cara-cara yang tidak
konvensional. Kepemimpinan yang visioner dan sekaligus mampu memberikan dorongan bagi publik, sektor swasta
maupun kelompok swadaya untuk terlibat sangat dibutuhkan. Jika pemimpin tetap mencoba memecahkan segala
masalah perkotaan dengan cara-cara lama, masalah-masalah yang sama juga akan terus dihadapi. Karena dinamika
yang sangat tinggi dan perubahan yang pesat di kota-kota seperti Bandung, kita tidak akan mungkin memecahkan
persoalan hari ini dengan cara berpikir seperti sepuluh tahun lalu. Sayangnya pemimpin bisa terjebak dalam sistem
administrasi pengelolaan kota yang sangat rigid, yang sangat tidak sesuai dengan masalah perkotaan yang menuntut
adanya respons yang unik dan cepat untuk masing-masing persoalan. Sebagai agen-agen pelaksana tugas sehari-hari
dari keputusan-keputusan penting yang telah dibuat para pengambil keputusan tentang apa potensi kota dan bagaimana
kota dikembangkan, biasanya birokrasi tidak memperoleh cukup kesempatan untuk memperdebatkan berbagai alternatif
strategi dan langkah aksi yang bisa diambil. Adalah juga hal yang biasa ketika birokrasi lambat atau lalai menanggapi
suatu masalah sederhana namun penting seperti menambal jalan berlubang atau mencegah tanaman di taman kota
agar tidak mati karena kekeringan. Kota yang kreatif menuntut adanya perubahan paradigma, cara berpikir dan cara
bekerja yang baru dari para aparat birokrasi di kota. Mereka perlu lebih tanggap dan mau membuka diri terhadap
berbagai ide dan gagasan-gagasan baru dan kemudian menerjemahkannya ke dalam langkah-langkah praktis. Metode
kerja, penyusunan rencana program maupun anggaran tentunya tidak mengarah pada satu jawaban pasti, tetapi akan
membuka diri pada berbagai kemungkinan dari mana inovasi dan ide-ide baru biasanya muncul. Institusi birokrasi yang
inovatif menuntut adanya prosedur baru dalam perencanaan dan pemecahan masalah yang bersifat lebih fleksibel,
partisipatif dan reflektif. Ide kreatif akan lebih sukses ketika dilaksanakan oleh aparat pelaksana yang juga berpikir dan
bekerja kreatif. Beberapa contoh solusi kreatif Ketika kita dihadapkan pada masalah transportasi di perkotaan, polusi,
serta adanya lonjakan harga BBM, misalnya, maka berbagai moda transportasi alternatif yang hemat enerji dan
sekaligus bisa dinikmati seperti berjalan kaki, bersepeda, dan berbecak, bisa didorong dan diberi tempat yang lebih layak
dengan menyediakan ruang yang aman dan nyaman maupun fasilitas lain yang memadai. Saat ini kota Bandung
menakutkan bagi pejalan kaki dan pemakai sepeda karena berbagai resiko yang harus dihadapi seperti terserempet
atau menjadi korban tabrak lari. Tidak ada tempat-tempat istirahat dan tempat parkir yang aman bagi mereka di jalanjalan
utama seperti jalan Dago, Merdeka, dan RE Martadinata (Riau). Secara paralel, pemikiran-pemikiran imajinatif
dalam penggunaan enerji alternatif untuk transportasi juga bisa dikembangkan oleh perguruan tinggi seperti Institut
Teknologi Bandung. Berbagai kemungkinan pengembangan dan penyesuaian transportasi publik tentu bisa didiskusikan
dengan melibatkan sektor bisnis transportasi maupun perwakilan dari pemakai jasa. Pendekatan yang lebih holistik
untuk mengembangkan mass-rapid transport seperti monorail juga dapat terus dijajaki kemungkinannya. Partisipasi
akan menghasilkan solusi yang kaya Kreativitas dalam memecahkan masalah perkotaan yang kompleks lebih mungkin
untuk dikembangkan di kota-kota yang merupakan amalgama dari berbagai jenis orang dengan berbagai keahlian,
budaya, usia, jenis kelamin, dan kepedulian sosialnya. Pendekatan-pendekatan yang partisipatif dan inklusif akan
menghasilkan solusi yang kaya, variatif dan tepat guna. Solusi kreatif menuntut adanya kapasitas untuk
mengkombinasikan pemikiran konseptual dengan kemampuan praktikal. Jarang sekali kombinasi berbagai kemampuan
ini ada dalam satu orang, tapi sangat mungkin ada dalam tim. Itu sebabnya pemecahan setiap masalah perkotaan
sebaiknya dilakukan tim yang mengkombinasikan berbagai orang yang memiliki kepentingan, kepedulian dan sekaligus
kompetensi dalam bidang tersebut. Pemecahan masalah perkotaan yang kreatif dan bertanggung jawab merupakan
satu perjalanan bukan tujuan. Proses menjadi penting, karena setiap upaya perlu dicek, diadaptasi dan diperbaiki terus
menerus. Proses ini membutuhkan keterlibatan aktif dari mereka yang akan mengalami masalah maupun yang akan
terkena dampak dari suatu kegiatan. Perencanaan adalah proses kreatif Ke depan, jika Bandung akan dikembangkan
menjadi “Kota Kreatif” sangat diperlukan adanya upaya yang masif untuk meningkatkan kapasitas
kepemimpinan dan cara kerja birokrasi, temasuk dalam cara bagaimana rencana dibuat dan siapa yang membuat.
Perkumpulan Inisiatif
http://www.inisiatif.org Powered by Joomla! Generated: 18 July, 2008, 10:47
Dalam pandangan saya, seorang perencana adalah mereka yang memfasilitasi proses urban strategy making yang
bersifat konsultatif dan partisipatif, bukan mereka yang menyusun rencana dengan cara teknokratis semata. Pembuatan
strategi kota memiliki lingkup yang lebih luas dari sekedar perencanaan kota yang klasik. Ketika membuat strategi kota,
para perencana tidak boleh meremehkan dinamika sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung di kota, namun
sebaliknya, memanfaatkannya untuk memperbaiki atau memecahkan masalah secara kreatif. Para perencana jangan
terjebak dalam proses birokrasi yang inkreatif dan perencanaan hendaknya dibuat menjadi proses yang bersifat
deliberatif bukan proses teknis yang sempit.
Perkumpulan Inisiatif
http://www.inisiatif.org Powered by Joomla! Generated: 18 July, 2008, 10:47