Jumat, September 26, 2008

Mengapa mempelajari Ilmu Ekonomi

Adalah aneh jika orang mempelajari atau ingin mengetahui sesuatu tanpa mengetahui alasannya. Demikian juga dengan anda yang telah masuk fakultas ekonomi, dan mempelajari ilmu ekonomi, sangat mustahil tidak mengetahui tujuan dan manfaat mempelajari ilmu ekonomi.

Paling tidak ada 3 manfaat dari mempelajari ilmu ekonomi yaitu:
a. ilmu ekonomi dapat membantu anda mempelajari dan memahami perilaku manusia(lembaga swasta/ pemerintah)disekitar anda dalam memanfaatkan sumbedayanya, dan caranya dalam mengambil keputusan.


b. Ilmu ekonomi dapat membuat anda efesien dan efektif dalam berperan di berbagai kegiatan ekonomi.

c. Ilmu ekonomi akan mendorong anda menjadi masyarakat yang cerdas di berbagai bidang pekerjaan.

Senin, September 15, 2008

Arti Modern

14 Aug 2007, 07:19 am
Modern Nggak Mesti Kayak Bule
Posted in Karyaku, Renungan, Sehari-hari, Sosial Budaya
Catatan: Naskah ini pernah diterbitkan dalam bentuk ebook oleh Zabit Mobile Book, dan di-launching pada acara Milad FLP k-10 tanggal 24 Februari 2007 di Jakarta.
==========
Friend, pasti kamu enggak mau kan, disebut sebagai orang kuno? Setiap orang pasti pengen jadi orang modern. Tapi tahu enggak sih, kita sering menganggap bahwa yang modern itu pasti dari Barat. Pasti kayak orang bule. Contohnya nih: gaun pengantin ala Jawa kita sebut “gaun tradisional”, sedangkan gaun pengantin ala barat kita sebut “gaun modern”. Contoh lain: musik pop (yang berasal dari Barat) kita sebut musik modern, sedangkan musik India, Arab, Jawa, Sunda, Batak, Mandarin, dan sebagainya, enggak pernah kita sebut sebagai “musik modern”.
Padahal, apa iya modern emang seperti itu? Untuk menjawabnya, yuk kita analogikan modern itu sebagai produk atau teknologi modern. Apa sih, ciri-ciri produk modern itu?
1. Lebih baik. Produk modern haruslah lebih baik dari produk-produk sebelumnya. Lebih hemat energi, lebih mudah dipakai, lebih canggih teknologinya. Sebagai orang modern, kita haruslah selalu berusaha menjadi orang yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Selalulah berusaha untuk memperbaiki diri.
2. Orientasi jangka panjang. Produk modern harus tahan lama, bisa menjawab tantangan teknologi masa depan. Sebagai orang modern, kita harus selalu berpikir jangka panjang, bukan jangka pendek. Kata ustadz Sanusi , perbedaan orang dewasa dengan anak-anak adalah: Anak-anak: Berpikir jangka pendek. yang penting enak. Kalau enggak enak, walaupun bergizi, ia tak akan mau makan. Orang dewasa: Berpikir jangka panjang. Biarlah makanan ini enggak enak. Tapi kalau ia menyehatkan tubuh, apa salahnya dimakan? Jadi, orang yang pacaran lalu hamil di luar nikah, bukanlah orang modern. Sebab mereka cuma berpikir jangka pendek, tentang kenikmatan sesaat belaka, persis kayak anak kecil.
3. Banyak bisanya. Handphone yang paling modern biasanya punya banyak fasilitas: 3G, MMS, radio FM, MP3 player, chatting, sebagainya. Sedangkan handphone kuno cuma bisa buat SMS dan telpon-telponan. Nah, sebagai orang modern, kita harus pintar dan menguasai banyak hal. Untuk mencapainya, kita tentu harus banyak belajar, banyak membaca, dan seterusnya.
4. Menghargai waktu. Sebuah produk modern haruslah bisa bekerja secepat mungkin. Mobil tentu lebih modern ketimbang sepeda ontel. Sebagai orang modern, kita harus disiplin dalam mengatur waktu. Jangan suka membuang-buang waktu secara percuma, karena waktu tak akan pernah kembali. Manfaatkan waktu kamu seefisien dan seefektif mungkin.
5. User friendly. Produk yang modern haruslah mudah dipakai, walau oleh orang yang paling awam sekalipun. Sebagai orang modern, kita enggak boleh jadi orang yang sulit; Sulit bergaul, sulit bersedekah, sulit memberi maaf. Wah, itu kuno banget gitu loch! Kalau mau jadi orang modern, cobalah ubah kata “sulit” itu menjadi “mudah”. Maka Insya Allah, kita akan punya banyak teman dan jadi orang yang gaul abis!
6. Banyak manfaat. Produk modern seharusnya enggak cuma keren dan canggih. Ia juga harus punya banyak manfaat bagi si pemakai. Sebagai orang modern, kita harus bermanfaat bagi sebanyak mungkin manusia. Kita harus punya kepedulian sosial yang tinggi. Kalau mau melakukan perbuatan apapun, kita harus memikirkan apakah perbuatan itu bermanfaat bagi orang banyak, atau justru merugikan semua orang.
7. Kuat dan tangguh. Produk modern haruslah tahan lama, enggak mudah rusak. Orang modern haruslah menjadi manusia tangguh, enggak gampang sakit, enggak mudah menyerah, enggak mudah frustasi. Kalo enggak tangguh atau punya mental lembek, kita akan sulit menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman yang makin pesat.
8. Mandiri. Produk yang paling modern adalah produk yang enggak tergantung pada banyak hal. Contohnya: handphone yang tanpa kabel tentu lebih modern ketimbang telepon rumahan yang berkabel. Sebagai orang modern, kita enggak boleh manja dan banyak bergantung pada orang lain. Ayo dong, jadi orang yang mandiri.
Nah, itu dia ciri-ciri manusia modern. Jadi, modern itu enggak ada hubungannya dengan Barat, lho. Jadi kalau penampilan kamu misalnya enggak sama dengan penampilan Britney Spears, atau kamu enggak suka sama film-film Hollywood, jangan takut dicap kuno. Coba aja penuhi kriteria-kriteria di atas. Maka Insya Allah kamu adalah orang yang sangat modern! (*)
Jonru

Belajar Ilmu Ekonomi

BAGAIMANA BELAJAR ILMU EKONOMI [1]

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM




Pendahuluan

Sejak penerbitan buku kecil Pendidikan Ekonomi Kita (PUSTEP-UGM, 2004) dan buku ikutannya Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah-sekolah Lanjutan (bersama Awan Santosa), kami makin intensif mengamati cara-cara dan praktek guru-guru sekolah lanjutan mengajarkan ilmu ekonomi. Pernah satu ketika mata pelajaran ini disebut ilmu ekonomi koperasi, satu nama yang sebenarnya lebih tepat karena di Indonesia terutama di perdesaan, tetapi juga di perkotaan, kehidupan berekonomi masih selalu dijiwai semangat kekeluargaan, kerjasama antarorang. Misalnya, di kalangan masyarakat Jawa ada ungkapan tuna satak bathi sanak, yang sangat tepat menggambarkan tindak berekonomi yang tidak mengutamakan pengejaran keuntungan. Rugi sekalipun (tuna = rugi), tidak perlu dianggap gagal kalau pada saat yang sama didapat kerabat baru (sanak = saudara). Ungkapan ini saja cukup untuk membedakan perilaku homo-ekonomikus ala ekonomi Barat yang pertama-tama diajarkan dalam ilmu ekonomi di sekolah-sekolah kita, dan homo-socius atau homo-ethicus ala ekonomi Timur.

[1] Makalah untuk Seminar Bulanan ke-18 PUSTEP UGM, 6 Juli 2004.

Jika sistem nilai dan budaya Jawa ini masih kita uri-uri (pelihara) sampai sekarang, tentulah timbul pertanyaan mengapa kita mengajarkan ilmu ekonomi sejak kelas I SMP bahwa manusia adalah homo-ekonomikus, yang diidealisasi sebagai manusia rasional yang selalu mengejar untung sebesar-besarnya, dan jika ia mengkonsumsi barang apapun selalu mengejar kepuasan maksimum. Sebenarnya seorang sosiolog Jerman F. Tonnies mengingatkan adanya dua jenis masyarakat yaitu masyarakat paguyuban (gemeinschaft) dan masyarakat patembayan (gesellschaft), yang pertama berarti masyarakat “kolektif” yang masih menjunjung tinggi semangat gotong-royong dan tolong-menolong, sedangkan yang kedua berarti masyarakat individualisik yang setiap anggotanya lebih menonjolkan kepentingan diri sendiri, tidak peduli kepentingan orang lain.

Jika kini orang mulai sadar dan bertanya-tanya mengapa terjadi perkembangan pemikiran yang cenderung menjauhi tradisi dan budaya asli bangsa, dan orang mulai mengadopsi nilai dan budaya luar (Barat), ada baiknya kita gali lebih dalam berbagai sebabnya. Apa yang salah pada bangsa Indonesia yang rupanya “demi kemajuan” telah “menerima” dan menerapkan sistem nilai asing yang tidak dikenal dalam budaya luhur kita?

Dari Adam Smith ke Soekarno-Hatta

Sangat sedikit sarjana ekonomi di manapun, lebih-lebih di Indonesia, yang menyadari kekeliruan, bahwa Adam Smith dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi dunia semata-mata karena bukunya Wealth of Nations (1776). Karena kekeliruan ini maka kebanyakan sarjana ekonomi juga mengira bahwa julukan homo-ekonomikus pada setiap manusia merupakan satu-satunya pencirian asli atau khas Adam Smith. Akibatnya, banyak pakar yang menjadi “ekonom” setelah memperoleh kepakaran di luar bidang ilmu ekonomi, misalnya insinyur, sangat asing dengan pandangan Smith yang sebenarnya tidak pernah menutup-nutupi pandangan yang “mencurigai” perilaku dunia bisnis antara lain dengan ungkapan berikut:

People of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices (Adam Smith, 1776:144).

(Orang-orang yang berbisnis sama jarang bertemu, bahkan untuk bersenang-senang atau untuk mengisi waktu-waktu luang sekalipun, namun (kalau mereka ketemu) pembicaraan-pembicaraan mereka berakhir dengan persekongkolan melawan kepentingan umum, atau dengan menemukan cara-cara untuk menaikkan harga-harga)

Sebelum menulis buku Wealth of Nations sebenarnya Adam Smith, ketika 17 tahun lebih muda, menulis buku lain yang lebih “berat”, karena lebih “filosofis” yaitu The Theory of Moral Sentiments (1759). Dalam buku pertama ini Smith menyakinkan pembacanya bahwa setiap manusia sangat menyukai hidup sebagai warga masyarakat, yang berarti manusia tidak menyukai hidup yang berciri individualistik atau sekedar mementingkan diri sendiri.

Man it has been said, has a natural love for society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and through he himself was to derive no benefit from it.



(Telah dikatakan bahwa manusia memiliki sifat alamiah mencintai masyarakatnya, dan menginginkan dipeliharanya kesatuan umat manusia demi kebaikan manusia itu sendiri, meskipun ia sendiri tidak memperoleh manfaat sedikitpun dari padanya).

Jika kita baca sekaligus kedua buku Smith tersebut secara benar, sebagai satu kesatuan, harus disimpulkan bahwa Bapak Ilmu Ekonomi dunia ini bukanlah penganut paham dan penyebar ilmu ekonomi kapitalis liberal yang amoral. Paham liberalisme-imperialisme baru berkembang satu abad sesudah terbitnya buku-buku Adam Smith tersebut yaitu ketika kaum pemodal atau para pemilik modal Eropa Barat “merajalela” di seluruh dunia menjarah tanah-tanah jajahan sumber “harta karun” yang sangat bermanfaat bagi ibu negara (motherland).

Indonesia yang dijadikan negara jajahan selama 350 tahun melahirkan pemikir-pemikir ekonomi kebangsaan brilyan yang mampu menyadarkan bangsanya akan kejahatan-kejahatan ekonomi para penjajah. Ir. Soekarno yang berkali-kali menyatakan “tidak tahu ekonomi”, karena tidak pernah belajar ilmu ekonomi secara formal seperti rekan seperjuangannya, dan kelak juga koproklamator kemerdekaan dan Wakil Presidennya, Drs. Moh. Hatta, harus diakui menunjukkan pemahaman mendalam mengenai ekonomi Indonesia. Dalam bukunya Indonesia Menggugat yang merupakan pidato pembelaannya ketika diadili Landraad Bandung bulan Agustus 1930, Bung Karno menguraikan panjang lebar mengapa ekonomi rakyat Indonesia dihisap dan ditekan oleh pemerintah penjajah Belanda yang bersekongkol dengan perusahaan-perusahaan besar milik pemodal-pemodal Belanda. Namun yang diserang Bung Karno sebenarnya bukan pemerintah Belanda tetapi sistem kapitalisme dan imperialisme, satu paham atau satu isme yang telah “mencelakakan rakyat dan bangsa Indonesia”.

Kami memang pernah menyatakan rubuhkanlah imperialisme, rubuhkanlah kapitalisme! –kami memang pernah mengatakan “imperialisme jahat, kapitalisme angkara murka, imperialisme mencelakakan kita, kapitalisme merusak rakyat, dan lain-lain sebagainya.- tetapi adakah bisa jadi, bahwa kami memaksudkan dengan perkataan imperialisme itu pemerintah yang sekarang atau keamanan umum, adakah bisa jadi bahwa kami memaksudkan dengan kapitalisme itu bangsa Belanda atau bangsa asing yang lain?



Kapitalisme dan imperialisme, Tuan-tuan Hukim, kapitalisme dan inperialisme sebagai kami uraikan di awal kami punya pidato, dengan disokong dalil-dalil orang yang ternama, bukanlah bangsa Belanda, bukanlah bangsa asing yang lain, bukanlah kaum BB, bukanlah kekuasaan pemerintah, bukanlah suatu badan atau materi –kapitalisme dan imperialisme sebagai tiap-tiap perkataan yang berakhiran “isme” adalah suatu paham, suatu pengertian, suatu sistem!



Sistem ini yang mencelakakan, sistem ini yang jahat, sistem ini yang harus dirubuhkan, bukan bangsa asing, bukan pemerintah, bukan kekuasaan pemerintah! Amboi, adakah kami begito goblok, adakah kami kurang otak atau barangkali miring otak, mengira bahwa imperialisme = kekuasaan pemerintah, kapitalisme = bangsa asing? (Soekarno, 1930, Indonesia Menggugat, Departemen Penerangan, 1952: 177-178).

Demikian dengan mempelajari sejarah pemikiran ekonomi para perintis kemerdekaan bangsa dan para pendiri negara (founding fathers), anak-anak didik kita tidak seyogyanya diberi kesan keliru bahwa ilmu ekonomi hanya berkembang di Barat, dan hanya menjadi “olah pikir” pemikir-pemikir Barat, meskipun benar Adam Smith telah merenung dan menulis demi kemajuan kemanusiaan seluruh umat manusia. Jika Ilmu Ekonomi di tangan Adam Smith atau John Stuart Mill adalah untuk kemajuan kemanusiaan, “ilmu ekonomi” di tangan Soekarno-Hatta adalah alat perjuangan, perjuangan untuk meruntuhkan paham kapitalisme-imperialisme, yang telah benar-benar mencelakakan rakyat Indonesia. Bahwa akhirnya Soekarno dihukum 4 tahun penjara setelah gagal membela dirinya dengan berargumentasi ekonomi memperjuangkan rakyat kini telah menjadi sejarah, tetapi justru karena telah menjadi sejarah itulah, anak-anak kita harus mempelajari sejarah itu. Pertama, sebagai ucapan terima kasih dari generasi sekarang kepada para pejuang kemerdekaan kita, dan kedua, sebagai upaya untuk membuat pelajaran ilmu ekonomi relevan dengan kondisi sosial-ekonomi yang kini dihadapi bangsanya. Harus dicatat bahwa kondisi ekonomi kemarin dan apa yang dapat dilakukan generasi sekarang akan membentuk kondisi ekonomi bangsa di masa datang.

Dalam membahas pikiran-pikiran ekonomi Bung Karno dan Bung Hatta, tokh ada sementara pakar ekonomi kita yang menganggap pikiran-pikiran ekonomi Bung Hatta “kurang revolusioner” karena Hatta muda bersekolah di Negeri Belanda, sedangkan Soekarno muda (hanya) di Bandung sehingga justru lebih revolusioner.

Terhadap keraguan ini saya tidak sependapat. Pikiran-pikiran Bung Hatta sebagaimana dimuat dalam majalah Daulat Rakyat tahun 1934 dan seterusnya setelah kembali dari Belanda tetap revolusioner, membela dan memperjuangkan kepentingan ekonomi rakyat yang dibela Bung Karno tahun 1930 di Landraad Bandung. Dalam tulisannya Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (1934), Bung Hatta memprotes karena pemerintah penjajah hanya memikirkan kepentingan onderneming (perkebunan-perkebunan besar) yang terkena dampak depresi dunia sejak 1929, dan sama sekali tidak memikirkan kehidupan ekonomi rakyat yang juga terpukul yang justru lebih parah oleh depresi dunia yang sama.

Bagaimana juga perbedaan paham antara GG yang satu dengan GG yang lain , dalam satu fasal mereka mempunyai kesalaha yang sama, yaitu kemakmuran negeri senantiasa diukur kepada majunya onderneming-onderneming Barat yang ada dan yang bakal ditimbulkan. Dan ekonomi rakyat tidak pernah mendapat pimpinan yang sepatutnya.[2] (Hatta, 2002: 243)

2] Hatta, Moh., 1934, “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya”, dalam Daulat Rakyat No. 84, Tahun ke IV, 10 Januari 1934. Diterbitkan kembali dalam Daulat Rakyat Buku 2, 2002, Yayasan Hatta, Jakarta.

Kelebihan dan kemajuan Hatta dibanding Soekarno dalam analisis ekonomi memang jelas, karena Hatta yang belajar ilmu ekonomi dan mendapat kesempatan mempelajari usaha-usaha koperasi di Denmark mengembangkan gagasan-gagasan koperasi sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat.

Di dalam keadaan ekonomi kolonial semacam itu, di mana pergerakan kemerdekaan mencita-citakan Indonesia Merdeka yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur di kemudian hari, hiduplah keyakinan bahwa bangsa Indonesia dapat mengangkat dirinya keluar dari lumpur, tekanan dan hisapan, apabila ekonomi rakyat disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kooperasi.... Cita-cita kooperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamentil. (Hatta, 1983: 224, 228)


Metode Mengajar Ilmu Ekonomi

Seorang guru yang mengajar ilmu ekonomi, disamping harus menguasai ilmu yang diajarkan, juga diharapkan mengetahui metode mengajar yang baik dan tepat, sekaligus mampu menerapkannya. Ini memang bukan pekerjaan mudah, lebih-lebih mengingat sarana-prasarana pendidikan masih sangat tidak terpenuhi. Misalnya, sudah umum diketahui bahwa penghasilan guru-guru (dan dosen perguruan tinggi) sangat rendah sehingga jika guru hanya mengandalkan penghasilan tetap bulanan saja ia tidak dapat menghidupi keluarga. Sudah sering disebutkan bahwa gaji guru atau dosen-dosen perguruan tinggi kita rata-rata hanya 1/20 gaji guru dan dosen yang berpangkat sama di negara tetangga, Malaysia. Inilah salah satu alasan pokok mereka tidak (dapat) mencurahkan perhatian penuh pada pelaksanaan tugas-tugas pokoknya. Mereka harus “ngobyek” untuk menambah penghasilan, dan bagi dosen, mengajar di berbagai perguruan tinggi yang juga tumbuh menjamur di mana-mana termasuk di kota-kota kecil sekalipun, seperti di Sendawar, Ibu kota Kabupaten Kutai Barat yang baru berdiri sebagai kabupaten tahun 1999.

Sarana-prasarana bagi guru-guru sekolah lanjutan masih lebih buruk lagi, termasuk laboratorium dan perpustakaan yang tidak dimiliki, atau ada tetapi kondisinya tidak memadai, sehingga kebanyakan sulit disebut sebagai sekolah yang memenuhi syarat.

Salah satu kekurangan lain sebagai akibat dari buruknya sarana/prasarana pendidikan adalah penggabungan pemberian pelajaran yang seharusnya diberikan 2 atau 3 kali per minggu menjadi hanya sekali seminggu. Dan di perguruan tinggi, mata kuliah yang bernilai 3 SKS (satuan kredit semester) pun juga hanya diberikan 1 kali seminggu selama 120 menit, padahal di negara-negara yang sudah maju mata kuliah yang sama harus diberikan 3 kali per minggu @ 50 menit. Maka dapat disimpulkan betapa sangat sedikit materi/ pelajaran yang diperoleh atau diserap murid/mahasiswa setiap minggunya.

Ilmu ekonomi, tak boleh dilupakan adalah ilmu sosial yang harus secara lengkap diajarkan secara deduktif maupun induktif, yang oleh Alfred Marshall, Bapak Teori Ekonomi Neoklasik, diibaratkan 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan. Maka jika hanya satu metode saja yang dipakai akan pincang, dan hasilnya pasti mengecewakan. Karena hampir semua guru/dosen biasanya ingin “menghemat waktu”, maka dipilihlah metode yang paling mudah dan paling murah yaitu metode deduktif, dengan sepenuhnya berpegang pada buku teks (textbook), tanpa upaya apapun memberikan contoh-contoh data empirik dari lapangan atau lingkungan murid/mahasiswa setempat. Akibatnya seorang murid atau mahasiswa yang sudah lulus dengn nilai sangat baik dalam ilmu ekonomi tidak memahami kehidupan ekonomi di sekitar murid/mahasiswa, apalagi mengetahui cara-cara memecahkan masalah-masalah ekonomi masyarakat.

Pengajaran ilmu ekonomi dengan metode deduktif dan induktif sekaligus dapat dengan mudah dilakukan tetapi dengan mengkaitkannya dengan penelitian. Inilah yang dikenal dengan istilah teaching through research (mengajar melalui penelitian). Dalam cara mengajar yang demikian, murid/mahasiswa diajak meneliti oleh guru/dosen dalam “tim penelitian”, yang berarti guru/dosen juga terus-menerus “ikut belajar” bersama murid/mahasiswa. Inilah yang juga disebut problem-posing education (pendidikan dengan mengetengahkan masalah-masalah praktis pada peserta didik), yang dilawankan dengan banking education yang semata-mata berarti pemindahan/mendeposit ilmu pengetahuan kepada peserta didik.

Demikian kiranya jelas perlunya revolusi total sistem pendidikan imu ekonomi di sekolah-sekolah/perguruan tinggi kita, meskipun perubahan sistem itu memang mutlak harus dibarengi penyediaan sarana-prasarana yang benar-benar memadai.


Ilmu Ekonomi Multidisipliner

Guru-guru ilmu ekonomi yang serius pasti memahami adanya kaitan erat antara pelajaran ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial dengan cabang-cabang ilmu sosial lain seperti ilmu sosiologi, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu bumi (geografi), dan ilmu sejarah. Karena kaitan yang sangat erat antara berbagai cabang ilmu ini, maka mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara terpadu multidisipliner akan membawa hasil lebih baik.

Pada awal lahirnya, ilmu ini diberi nama political economy (ilmu ekonomi politik), dan bukan economics seperti sekarang. Bahkan sudah disebut di atas, buku Adam Smith yang menandai kelahiran ilmu ekonomi “modern” tidak diberi judul political economy apalagi economics. Tokoh-tokoh ekonomi klasik sesudah Smith yaitu J.S. Mill dan David Ricardo memberi judul buku mereka Principles of Political Economy, sedangkan T.R. Malthus memberi judul buku ekonominya Essay on Population.

Di Indonesia pakar ekonomi paling awal sesudah Moh. Hatta adalah Sumitro Djojohadikusumo, yang seperti halnya Hatta, belajar ilmu ekonomi di Negeri Belanda, Rotterdam, dengan menulis disertasi Masalah Kredit di Zaman Depresi (1943). Buku ilmu ekonomi yang ditulis Sumitro diberi judul Ekonomi Penbangunan (1955) dan Ekonomi Umum (1957) yang berarti bahwa menurut pandangannya tugas ilmu ekonomi bersifat makro yaitu membantu pemerintah menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat. Sumitro yang pendiri dan dekan pertama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) dikenal pula sebagai perintis The Jakarta School of Economics, yang menerapkan ajaran Keynes di Indonesia, yaitu mengajarkan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian nasional, atau membatasi kebebasan mekanisme pasar agar tidak merugikan masyarakat. Sumitro kemudian mendapat kesempatan menerapkan pikiran-pikirannya dalam kebijakan ekonomi praktis ketika beberapa kali dipercaya menjadi menteri (keuangan, perekonomian, perdagangan), dan terakhir 1968-1974 sebagai menteri perdagangan Kabinet Pembangunan I di bawah Presiden Soeharto.

Ketika Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada berdiri tahun 1955 (dipisah dari Fakultas-fakultas Hukum dan Sosial-Politik), dikenal 4 jurusan yaitu Agraria, Sosiologi, Kenegaraan, dan Perusahaan. Dibukanya 2 jurusan yaitu Agraria dan Sosiologi, menunjukkan keinginan menjadikan ilmu ekonomi relevan dengan masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat-bangsa. Lebih-lebih dengan jurusan ekonomi sosiologi berarti ada pengakuan kaitan erat antara ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi. Artinya, sebagaimana ditekankan oleh Adam Smith dalam TMS (Theory of Moral Sentiments), manusia sangat terikat pada masyarakat tempat ia hidup, dan perilakunya juga tidak berciri individualistik, tetapi justru dibentuk dan diwarnai oleh masyarakatnya.

Bahwa faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya amat sulit dipilah, digambarkan dengan baik oleh pengalaman teori dan praktek. Sajogyo, pensiunan Gurubesar sosiologi perdesaan IPB, pada rekfleksi kariernya bulan Desember 2003, menuturkan kembali pertukaran pikirannya dengan David Penny (alm), ekonom pertanian dari Australia, sebagai berikut:

Jika Anda ingin mengerti perekonomian negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami (Sajogyo, 2003:1).

Dari pernyataan ini tidak diragukan bahwa pengajaran ilmu ekonomi sebagai monodisiplin tidak mampu menjadikan siswa memahami apalagi memecahkan masalah-masalah kongkrit yang dihadapi masyarakat-bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain ilmu ekonomi hanya akan efektif sebagai pisau analisis jika digunakan bersama ilmu-ilmu sosial lain termasuk dan terutama ilmu politik, ilmu budaya, dan etika.


Mengorganisasi Materi Ajar Ilmu Ekonomi

Salah satu misi KBK adalah untuk memadukan penguasaan berbagai materi pelajaran sehingga siswa memiliki kompetensi lintas kurikulum, kompetensi umum, dan kompetensi dasar mata pelajaran. Indikator masing-masing kompetensi tersebut sudah dirumuskan Depdiknas dengan baik, normatif, dan komprehensif. Masalah muncul ketika harus mewujudkan kegiatan belajar-mengajar seperti apa yang dapat mendukung maksud-maksud di atas. Meskipun ada pembaruan capaian, metode, dan pendekatan, tokh kurikulum yang ada sekarang belum benar-benar mencerminkan perpaduan materi, sehingga metode pengajaran ilmu ekonomi masih bersifat monodisiplin, parsial, dan terkotak-kotak. Materi yang diajarkan masih sama, hanya terkesan “diotak-atik” tanpa pemikiran utuh yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Materi ilmu ekonomi masih konvensional, demikian pula dengan materi PPKn, Geografi, Sejarah, dan Sosiologi, belum terlihat hasil yang menunjukkan keseriusan perancang kurikulum dalam memadukan berbagai materi ajar tersebut sehingga menjadi kesatuan pembelajaran yang padat-terpadu.

Susunan Garis-Garis Besar Program Pengajaran Dan Penilaian Pada Sistem Semester (Ditjen Dikdasmen, 2003) menunjukkan masih kuatnya sekat-sekat antar mata pelajaran yang sebenarnya berkaitan erat. Materi pelajaran ekonomi yang komplek dan “berat-berat” disusun hanya dalam 3 halaman, sementara materi PPKn yang berupa nilai-nilai (value) disusun dalam 17 halaman. Mengapa tidak justru nilai-nilai (ideologi) ini yang dipadukan dalam materi-materi ilmu sosial, khususnya materi ekonomi? Dalam materi-ajar PPKn dikupas tuntas masalah-masalah keadilan sosial, asas kekeluargaan, sistem ekonomi Indonesia, trilogi pembangunan, nasionalisme (rasa kebangsaan) di era globalisasi, demokrasi ekonomi, dan bahkan juga Sistem Ekonomi Pancasila. Bukankah ini esensi kontekstualisasi ilmu ekonomi sesuai kondisi riil bangsa Indonesia? Mengapa materi-ajar ini justru sama sekali “asing’ dalam kurikulum materi-ajar ilmu ekonomi?

Di sisi lain, materi ekonomi dalam kurikulum “KBK” tersebut diberikan tanpa visi moral dan kontekstual yang jelas, “dogmatis”, dan bersifat “padat materi” ketimbang “padat nilai”. Dogmatis karena sejak pertama kali menerima pelajaran ekonomi siswa sudah dipaksa menerima kebenaran “dalil-dalil” ekonomi bahwa manusia adalah homo economicus, yang kebutuhannya tidak terbatas (keserakahan alam benda), dan sumber-sumber pemenuhannya terbatas. Dalam Pedoman Khusus Pengembangan Silabi dan Penilaian Mata Pelajaran Ekonomi (Dikmenum, 2003) sudah ditegaskan bahwa dalil itu merupakan kenyataan yang menjadi karakteristik mata pelajaran ekonomi. Ilmu ekonomi yang diarahkan pada analisis kelangkaan mendapat pembenaran dengan pernyataan bahwa “apabila sumber ekonomi keberadaanya melimpah (baca : tidak langka) maka ilmu ekonomi tidak diperlukan lagi bagi kehidupan manusia”. Inilah alasan tidak ditonjolkaanya bahasan mengenai “keadilan ekonomi” yang didasari kenyataan terdapatnya masalah kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan pendapatan.

Pengajaran PPKn tanpa dipadu ilmu (materi) ekonomi kongkrit tidak akan memiliki kekuatan apapun. Begitu pula sebaliknya, pengajaran ekonomi tanpa dipadu nilai-nilai, moral, dan etika dalam pelajaran PPKn akan kehilangan arah (visi). Hal ini berlaku pula bagi perpaduan materi ekonomi dengan materi ilmu-ilmu sosial yang diajarkan seperti sejarah, geografi, sosiologi, dan antropologi. KBK menuntut pengembangan metode mengajar induktif-empirik melalui kajian langsung di lapangan. Guru-guru ekonomi harus mampu bekerjasama dengan guru-guru ilmu sosial yang materinya berkaitan erat untuk mendisain kajian lapangan secara multidisipliner. Dengan cara demikian siswa tidak mendapat pemahaman ilmu ekonomi secara sepotong-potong, terpisah, bahkan terkadang saling bertolakbelakang.

Perpaduan ini tidak berhenti pada penyelenggaraan kajian lapangan secara bersama sama. Analisis kajian lapangan harus merupakan kesatuan yang utuh yang menggambarkan keterkaitan antara disiplin ilmu ekonomi dengan disiplin ilmu sosial lain dalam memecahkan dan mengamati suatu masalah tertentu. Mengorganisasikan materi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru dan siswa dapat dilakukan dengan tiga cara sekaligus. Pertama, guru ekonomi harus mempelajari materi-materi ilmu lain yang berkaitan erat dengan materi yang diajarkannya (sejarah, sosiologi, dan geografi). Kedua, guru ekonomi harus sering bertukar pikiran dengan guru-guru ilmu terkait untuk mengembangkan metode mengajar dengan pendekatan multidisipliner. Ketiga, guru ekonomi mengajar melalui diskusi kelas (satu kelas-satu topik) bersama-sama dengan guru ilmu-ilmu terkait.

Pendekatan multidisipliner tidak banyak membantu jika pengorganisasian materi pelajaran ekonomi tidak dilakukan secara tepat. Dalam buku Kurikulum dan Hasil Belajar – Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Ekonomi SMA dan MA (Puskur, Balitbang Depdiknas, 2002) dijelaskan bahwa pengorganisasian materi pelajaran ekonomi di SMA/MA dimulai dari “masalah-masalah ekonomi yang terjadi di lingkungan kehidupan yang terdekat hingga pada lingkungan yang terjauh”. Sepintas lalu pengorganisasian seperti ini mencerminkan pembelajaran berdasar lokalitas-kontekstual masalah riil yang dihadapi siswa. Namun, bukankah masalah antarindividu, keluarga, masyarakat dan daerah tidak seragam? Bukankah tingkat kepentingan (urgensi) masalah tersebut juga bisa berbeda-beda. Pengorganisasian materi yang demikian cenderung berorientasi pada masalah-masalah yang bersifat individualistik berkisar pada kepentingan pribadi (self interest). Maka dapat dimengerti bahwa materi pertama yang diajarkan adalah pilihan dan biaya peluang, diikuti maksimisasi keuntungan, perilaku produsen/konsumen dan seterusnya, bukannya masalah-masalah mendesak yang dihadapi masyarakat-bangsa Indonesia seperti kemiskinan, produktivitas rendah, dll.

Mengapa materi tidak diorganisasikan berdasar tingkat kedalaman masalah ekonomi yang dihadapi?. Pengorganisasian materi ajar seharusnya dimulai dari pemecahan masalah ekonomi terberat yang dihadapi rakyat, baik yang ada di sekitar siswa maupun yang terjauh sekalipun. Pengorganisasian seperti ini mensyaratkan perhatian pada masalah ekonomi yang dihadapi rakyat, yang dapat dirujuk pada cita-cita konstitusi.

Oleh karena itu, materi ajar yang sebaiknya dipelajari terlebih dulu adalah sejarah ekonomi, cita-cita kehidupan ekonomi dalam konstitusi (pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945, termasuk koperasi), dan sistem ekonomi. Dalam pokok-pokok bahasan tersebut secara implisit terkandung masalah-masalah ekonomi ysng dihadapi rakyat yaitu masalah kemiskinan dan ketimpangan (ketidakadilan ekonomi). Barulah kemudian analisis mendalam diperlukan untuk mempelajari teori-teori ekonomi, kegiatan ekonomi lokal, nasional, dan global, pasar, peran/kebijakan pemerintah, yang diajarkan dengan visi memecahkan masalah-masalah ekonomi sesuai amanat konstitusi yang telah dipelajari di awal pelajaran. Pembagian materi ekonomi di kelas 1, 2, dan 3 SMU dapat mengikuti pola ini dengan peluang untuk me-review pelajaran-pelajaran sebelumnya.

Beberapa guru ekonomi mengeluh mengapa di awal pelajaran mereka sudah diminta mengajar konsep biaya peluang yang mereka sendiri masih kurang paham. Setelah mereka mendapat “ceramah” tentang materi tersebut, mereka merasa bukannya makin “kompeten” tetapi justru makin tidak paham. Bagaimana halnya dengan siswa yang baru masuk ke SMU? Apakah guru dan siswa paham bahwa itulah masalah ekonomi terdekat yang dihadapinya? Jika ya, pastilah mereka tidak sulit menemukenali dan memecahkannya. Kenyataan ini makin menunjukkan bahwa pengorganisasian materi ekonomi dalam KBK tidak didasarkan pada argumentasi yang jelas dan tepat. Dalam era otonomi pendidikan, guru-guru ilmu ekonomi seyogyanya tidak lagi dipaksa menerima begitu saja kebenaran materi ekonomi dan pilihan pengorganisasiannya tanpa didasari pertimbangan ilmiah.

Ilmu Ekonomi dan Sistem Ekonomi

Mengapa kepada siswa diajarkan materi tentang sistem ekonomi? Pertanyaan ini terkait dengan idealisasi yang harus dipahami dan dimiliki oleh penyusun kurikulum dan guru ekonomi. Pengajaran suatu materi ekonomi harus didasarkan pada idealisasi atau visi tertentu baik yang bersifat normatif maupun yang bernilai sejarah. Ini mengikuti pandangan bahwa ilmu (materi) yang diajarkan tidaklah bebas nilai (value-free) melainkan justru sarat nilai. Oleh karena itu paham positivisme ilmu harus ditolak. Setiap kenyataan (das sollen) harus dikaitkan dengan idealitanya (das sein) begitupun sebaliknya. Pandangan ini menjawab keluhan guru-guru ilmu ekonomi yang merasa menghadapi kesulitan dalam menyelaraskan kenyataam dengan materi sistem ekonomi nasional yang akan diajarkan. Guru ekonomi harus mempunyai visi dan idealisme mengapa sistem ekonomi nasional begitu penting untuk diajarkan kepada siswa. Mengajarkan sistem ekonomi patut dipahami sebagai upaya mengembangkan sistem ekonomi nasional yang sesuai dengan tujuan nasional yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepada siswa perlu disampaikan pemahaman bahwa sistem tidak lain dari aturan main. Jadi sistem ekonomi adalah aturan main yang menjadi pedoman umum tindakan-tindakan setiap pelaku ekonomi.

Tujuan mengajarkan materi sistem ekonomi harus dikuasai sebaik penguasaan guru atas materi itu sendiri. Tanpa itu pendidikan ekonomi hanya bermakna sebagai ajang transfer materi sistem ekonomi yang cenderung pragmatis, formalistik, dan ritualistik. Pragmatisme ini mengakibatkan merosotnya kualitas pendidikan ilmu ekonomi dengan hasil tidak dikuasainya pemahaman nilai dan materi sistem ekonomi oleh siswa. Tujuan untuk memahamkan siswa terhadap sistem ekonomi nasional yang ideal dan yang riil pun sulit terwujud. Pengajaran sistem ekonomi sebagai upaya mengembangkan dan memperbarui sistem ekonomi yang khas Indonesia justru berubah menjadi tempat mengukuhkan dominasi sistem dan paham ekonomi konvensional. Gagasan-gagasan sistem ekonomi nasional dari para pemikir-pemikir ekonomi bangsa sendiri tidak mendapat perhatian yang memadai. Ini melanggengkan kondisi status quo di mana pendidikan ilmu ekonomi merupakan produk sistem ekonomi yang berkembang, bukannya sistem ekonomi yang merupakan hasil dari proses pendidikan ekonomi di setiap tingkatan.

Materi apa tentang sistem ekonomi yang seharusnya diajarkan? Pertanyaan ini mengarahkan pilihan pada materi-materi ajar yang relevan dan bermanfaat bagi siswa, khususnya dalam kontek pengajaran sistem ekonomi. Relevan berarti materi sistem ekonomi harus bersifat kontekstual, mengajarkan idealita sekaligus realita sistem ekonomi yang dikaitkan dengan sistem nilai sosial-budaya bangsa Indonesia. Untuk itu materi Sistem Ekonomi Pancasila menjadi alternatif yang lebih masuk akal untuk diajarkan dan dikembangkan bersama mulai tingkat sekolah lanjutan. Ini memang memerlukan perbandingan dengan materi sistem ekonomi lain yang berkembang di dunia (Kapitalisme-Sosialisme-Komunisme) sehingga pemahaman siswa lebih komprehensif. Siswa diharapkan memahami ciri-ciri dan kekuatan/kelemahan setiap sistem ekonomi, mampu menentukan pilihan sistem yang sesuai dan terbaik bagi bangsa Indonesia, dan siswa kemudian bersemangat untuk menggali (memperdalam pemahaman) sistem ekonomi yang khas Indonesia.

Kadang-kadang pertimbangan pragmatis lebih menentukan dalam menyusun materi-ajar (silabi) dibanding pertimbangan ideologis (esensial). Mungkin karena dinilai tingkat kesulitan materinya rendah, tidak begitu mendesak diajarkan, dan tidak sering dijadikan bahan ujian (perguruan tinggi), materi sistem ekonomi dalam KBK ditempatkan di kelas 3, sebagai pelajaran terakhir. Tentu saja pengajarannya tidak mungkin efektif karena siswa sudah mulai berkonsentrasi pada ujian akhir dan tes untuk masuk perguruan tinggi. Di kelas 1 materi sistem ekonomi ini hanya sedikit sekali disinggung dengan penekanan lebih pada analisis masalah ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi. Sistem ekonomi terkait erat dengan sejarah ekonomi yang perlu dipahami sejak awal oleh siswa sebagai dasar analisis ekonomi lebih lanjut. Sistem ekonomi memuat ideologi, perangkat nilai, moral, dan aturan-aturan ekonomi yang dapat dijabarkan dalam bahasan-bahasan konsep dan teori ekonomi. Materi sistem ekonomi sangat strategis, komplek, dan tidak semudah anggapannya sebagai materi yang hanya sekedar dihapalkan.

Bagaimana cara mengajarkannya? Pertanyaan ini mencakup pilihan metode-metode pengajaran yang harus mendekatkan pada pencapaian idealisasi dan tujuan pembelajaran. Patut disadari bahwa guru ilmu ekonomi harus memahami pentingnya pengajaran sistem ekonomi sehingga ia selalu berupaya mengembangkan pemahaman materinya. Guru yang menguasai materi akan mudah menerapkan inovasi metode mengajar yang memudahkan siswa dalam menguasai materi. Guru ekonomi akan menyadari perlunya kajian langsung di lapangan untuk membantu siswa mengamati praktek-praktek ekonomi yang menjadi satu kesatuan sistem ekonomi. Demikian pula halnya, siswa akan menemukan masalah-masalah baik dalam upaya-upaya pengembangan sistem ekonomi nasional maupun masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sebagai akibat kelirunya sistem ekonomi yang diterapkan seperti masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Mereka harus memikirkan cara-cara memecahkan masalah tersebut sekaligus upaya-upaya mengembangkan sistem ekonomi yang bermoral, demokratis, dan berkeadilan sosial.

Kelas harus dihidupkan dengan diskusi-diskusi sistem ekonomi yang merujuk pada materi-materi dari buku-buku bacaan (reading), pendapat pakar-pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi Indonesia, dan buku-buku teks ekonomi. Dalam kesempatan tertentu dapat dihadirkan tokoh/pemikir ekonomi yang peduli dengan masalah pengembangan sistem ekonomi di Indonesia. Pembahasan materi sistem ekonomi perlu dikaitkan dengan topik-topik sosial-ekonomi aktual sehingga lebih menarik bagi siswa. Pada akhirnya siswa akan merasakan banyak manfaat dari belajar mengenai ulmu ekonomi dan sistem ekonomi.


Penutup

Setelah 10 tahun kurikulum 1994 diberlakukan, pakar-pakar pendidikan dalam koordinasi Depdiknas bersepakat untuk melaksanakan kurikulum baru yang disebut KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kurikulum baru ini dianggap merupakan “kemajuan besar” dibanding kurikulum 1994 karena diharapkan mampu menghasilkan siswa yang tidak saja berpengetahuan, tetapi sekaligus mampu berbuat, bertindak atau mengerjaka, artinya disamping pendidikan menghasilkan pengetahuan (kognitif) juga afektif (perilaku) dan psikomotorik (bertindak).

Untuk dapat melaksanakan KBK guru juga harus lebih kompeten artinya memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, yang jauh lebih lengkap ketimbang sekedar sebagai guru. Ini berarti guru pun tidak bisa lagi berperan sebagai sekedar pemberi atau pemindah pengetahuan kepada siswa, tetapi harus selalu siap menanggapi pertanyaan apapun yang diajukan siswa setiap waktu.

Mengingat permintaan akan kesiapan guru dalam KBK yang jauh lebih baik dan unggul, guru harus bekerja lebih keras menyiapkan diri sebelum menghadapi murid di kelas setiap hari. Sebaliknya guru dalam KBK harus meingkat fungsinya menjadi guru plus fasilitator yang justru harus bekerja keras memotivasi murid untuk berani bertanya apa saja kepada guru. Jika sistem KBK ini dapat terlaksana dengan baik tidak akan lagi didengar keluhan seorang guru di Kutai Barat (berasal dari Bantul) bahwa “selama 15 tahun mengajar di sana tidak sekalipun murid-muridnya mengajukan pertanyaan kepadanya di kelas” (Mei 2004).

Salah satu kelemahan KBK barangkali adalah justru pada kesiapan sarana-prasarana untuk menjamin tercapainya hasil. Bagaimana mungkin KBK dapat berasumsi setiap guru siap melaksanakan tugas barunya tanpa jaminan dapat disediakan sarana/prasarana yang diperlukannya. Mengapa tanpa persiapan cukup seorang guru “tiba-tiba” dapat berubah menjadi guru plus fasilitator?



06 Juli 2004


Daftar Pustaka

Hatta, Moh., 2002, Daulat Rakyat Buku 2, Terbitan Khusus Satu Abad Bung Hatta, Yayasan Hatta, Jakarta.

Hausman, Daniel M., 1994, The Philosophy of Economics, Cambridge UP.

Mubyarto, 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Aditya Media, Yogyakarta.

Mubyarto & Awan Santosa, 2004, Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah-sekolah Lanjutan, Aditya Media, Yogyakarta.

Oliver, J.M., 1973, The Principles of Teaching Economics, Heinemann Education Books Ltd.

Smith, Adam, 1759, The Theory of Moral Sentiments, Washington D.C. Regnary Publishing.

Smith, Adam, 1776, The Wealth of Nations, The University of Chicago Press, Chicago.



Kembali ke Menu Sebelumnya...

Copyright © 2006 Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan - Universitas Gadjah Mada
website: http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/
e-mail: ekonomikerakyatan@ugm.ac.id

Sabtu, September 13, 2008

Pondasi ekonomi kreatif

Tuesday, June 17, 2008
Fondasi Ekonomi Kreatif
Source: Dataworks
(Dataworks Indonesia, 12/09/2006)
Saya tidak paham apa yang dimaksud dengan industri kreatif. Indonesia sudah tertinggal beberapa langkah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam mengembangkan ekonomi kreatif. Apakah Indonesia mempunyai strategi yang jitu agar tidak tertinggal jauh? Apakah pemerintah dapat berperan dalam mewujudkan ekonomi kreatif yang berdaya saing? Demikian contoh sederetan pertanyaan dari para perserta seminar bertema "Membangun fondasi ekonomi kreatif di Jawa Barat" yang diselenggarakan oleh Dinas Disperindag Jabar, di Hotel Grand Serella, Sabtu (11/8) lalu.

Seminar sehari ini adalah serangkaian kegiatan sosialisasi yang ditujukan untuk meletakkan fondasi industri kreatif di Jawa Barat ("PR", 13/8). Sehari sebelumnya Gubernur Danny Setiawan membuka Kick-Fest II (Kreative Independent Clothing Kommunity Festival) yang berlangsung 10-12 Agustus sebagai ajang pengunjukan diri industri kreatif kaus dan pakaian jadi (distro) di Bandung. Dalam sambutannya, Danny menekankan pentingnya kebersamaan yang seirama (sauyunan) untuk mewujudkan Jabar sebagai provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota tahun 2010. Jabar memiliki segudang potensi seperti modal manusia (ilmuwan, kreator, inovator), sumber daya alam, dan industri strategis. Justru yang masih lemah, menurut Danny, adalah modal sosial di antara pelakunya.

Dengan fokus yang sama yaitu kesejahteraan Jabar, kearifan lokal saling asah, asih, dan asuh berguna memantapkan pembangunan ekonomi Jabar yang bukan hanya bertumpu pada bidang industri manufaktur, agrobisnis, dan telematika tetapi bisnis yang berbasis kreavitivas. Jabar sudah dikenal sebagai pusat fashion bukan hanya warganya yang modis tetapi juga tempat lahirnya para desainer yang mampu memenuhi permintaan pasar yang semakin kompetitif. Danny berharap munculnya teladan (best practice) kewirausahaan bidang industri kreatif yang unik di setiap daerah kabupaten/kota. Khusus untuk Kota Bandung, gubernur berpesan perlunya sinergi untuk mengoptimalkan potensi industri kreatif dengan kebijakan, manajemen, tata ruang kota, dan tenaga kerja yang terpadu.

Pada kesempatan ini diberikan penghargaan kepeloporan dalam industri kreatif dan desain terbaik. Penghargaan kepeloporan industri kreatif diberikan kepada Dr. H. Pribadi Tabrani dan Marius Widyarto Wiwied. Dr. Tabrani adalah guru besar FSRD ITB yang berjasa dalam pendidikan seni rupa dan desain komunikasi visual dengan mengajarkan generasi muda untuk selalu berpikir kreatif (Cikal Bakal FSRD ITB, "PR", 30/7). Marius adalah pelopor kaus (T-shirt) bergambar dengan merek C59 yang telah dikenal oleh khalayak ramai di Indonesia dan memperoleh banyak penghargaan bergengsi (www.c59.co.id).

Sedangkan desain terbaik yang terdiri atas tiga kategori dimenangkan oleh Mahanagari untuk kategori desain produk, Fast Forward Records untuk kategori pelopor tren (trend setter), dan Dataworks Indonesia untuk kategori perusahaan inovatif. Desain produk Mahanagari secara kosisten mengangkat kekhasan budaya Parahyangan, rasa kecintaan Jabar, dan sejarah Bandung ke berbagai macam bentuk pakaian dan aksesori seperti kaos, pin, gantungan kunci, poster, kartu pos, termasuk buku-buku bertema budaya lokal. Fast Forward Records (www.ffwdrecords.com) mendorong perkembangan musik indie sejak tahun 1999 dengan mencari bakat dan telah merilis 9 album (lima di antaranya rilis internasional). Kelompok musik Mocca adalah yang paling berhasil dengan album pertama "My Diary" terjual 80.000 kaset dan 8.000 keping CD.

Dataworks Indonesia (www.dataworks-indonesia.com) mengembangkan perangkat lunak untuk industri pakaian indie sejak tahun 2004. DMS 2005 adalah perangkat lunak sistem keuangan produk yang telah digunakan oleh 57 distro dengan jumlah 83 lisensi yang terjual. Pada pertengahan 2006, Dataworks merilis layanan suavecatalogue.com dan situs e-commerce yang digunakan oleh 10 perusahaan pakaian. Produk yang terbaru adalah CMS 2007 yang dapat membantu identifikasi produk, distribusi, dan pelaporan keuangan.

Pada pembukaan seminar keesokan harinya, Kadis Disperindag Jabar Agus Gustiar memaparkan, Jabar telah menggoreskan tonggak sejarah industri kreatif di Indonesia dengan mendukung pembinaan inovasi produk kreatif bernilai tambah tinggi. Kota Bandung adalah pelopor produk kaus di tahun '70-an. Setelah mengalami pasang surut di tahun '80-an, industri ini bangkit kembali di tahun '90-an dengan distro, aksesori, merek, desain, dan bahan baku yang lebih variatif. Agus menekankan bahwa membangun fondasi industri kreatif merupakan upaya bersama untuk promosi, pendataan merek, penyediaan tenaga ahli, perbaikan teknis dan manajemen, akses pemodalan, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Karena Jabar kaya akan keanekaragaman budaya, talenta, dan balai besar, industri kreatif layak menjadi titik sentral ekonomi Jabar. Tujuan pelaksanaan seminar, menurut Agus, tidak lain adalah mempersiapkan fondasi yang lebih kokoh melalui sosialisasi kebijakan pemerintah pusat yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY, menumbuhkan wawasan nilai strategis industri kreatif, memahami potensi industri kreatif saat ini, dan menjaring usulan dari pengusaha, pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat luas.

Cetak biru

Dirjen Industri Kecil dan Manengah (IKM) Departemen Perindustrian RI, M. Sakri Widhianto menyajikan peranan Departemen Perindustrian dalam mengembangkan industri kreatif berbasis budaya dan warisan budaya. Menurut Sakri, Presiden SBY adalah penggagas bahwa pengembangan ekonomi baru harus berdasarkan kekayaan alam, budaya, dan warisan budaya Indonesia. Secara spesifik, Presiden mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang memadukan gagasan, seni, dan teknologi. Cetak biru pengembangan ekonomi kreatif 2007-2011 berhasil disusun berkat peran serta dari Kadin, pengamat ekonomi, para pakar dari FSRD ITB, dan kementerian terkait dari seminar dan dialog Pekan Produk Budaya Indonesia 11-15 Juli 2007.

Konsep awal dari dokumen ini membuat delapan program berikut dengan tujuan, hasil yang diharapkan, dan pihak yang bertanggung jawab termasuk peran asosiasi. Kedelapan program tersebut adalah program sosialisasi, program identifikasi (pemetaan, basis data, riset ekonomi kreatif, skala prioritas), perlindungan hukum (inpres, sosialisasi HKI), pendidikan (kurikulum pendidikan budaya yang kreatif dan inovatif), program kelembagaan, promosi dan pemasaran (aktivasi pasar), infrastruktur (komunikasi, transportasi, prasarana pelatihan dan produksi), dan insentif (festival, kredit, perizinan, kontes). Sakri menyatakan setelah konsep ini disempurnakan akan diterbitkan dalam instruksi presiden.

Pembicara kedua adalah Poltak Ambarita, Kasubdit Informasi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri yang memaparkan kebijakan pengembangan Indonesia Design Power (IDP) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia. Fokus dari desain adalah merek, pengemasan, dan desain. Indonesia Design Power (IDP) adalah pendayagunaan desain untuk meningkatkan kualitas, memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saing produk Indonesia berbasis kekayaan intelektual dan sumber daya alam yang dilakukan melalui inovasi bersumber dari budaya dan warisan budaya.

Alasan pembentukan IDP adalah terutama karena era perdagangan bebas yang menuntut keterbukaan pasar (tidak ada proteksi), tuntutan sertifikasi produk (seperti ecolabelling, fair trade, dll.), membuat produk lebih berkualitas, berdaya saing tinggi dan bernilai tambah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonsia. Peran dari dinas perdagangan adalah melakukan aktivasi, pendataan, dan pembinaan industri kreatif di wilayahnya masing-masing.

Selain kedua pembicara di atas, seminar ini menampilkan empat pembicara lainnya. Gustaff H. Iskandar (Common Room Networks Foundation) yang menyajikan pemberdayaan jaringan pelaku ekonomi kreatif sebagai strategi pembentukan basis ekonomi kreatif yang berkelanjutan. Achmad D. Tardiyana (Urbane Indonesia) menegaskan bahwa Jawa barat harus menjadi koridor ekonomi kreatif. Togar Simatupang (SBM ITB) menyampaikan konsep pengembangan industri kreatif di Jawa Barat.

Salah satu pembicara pengusaha kreatif yang berhasil adalah Fiki Chikara Satari. Usahanya dimulai awal tahun 1998 dengan 3 orang staf dan penjualan perseorangan. Pada tahun 2006 sudah membuka toko dan outlet berjalan dengan nama Airbus One. Fiki bercerita tidak ada rumus pasti dalam bisnis distro. Ide bisa muncul dari mana saja dan perlu pergaulan yang luas untuk memperkaya pengetahuan. Tetapi, ide ini perlu disertai dengan keahlian manajerial seperti pemasaran, penganggaran, operasi, keuangan, kebijakan harga jual dan diskon, dan aspek legalitas usaha.

Sumbang saran

Peranan pemerintah masih sangat besar dalam meletakkan fondasi ekonomi kreatif. Tindak lanjut seminar dan kerjasama hendaknya terus digulirkan oleh para pemegang kepentingan. Dengan komunikasi yang intensif diharapkan pemerintah benar-benar berfungsi sebagai regulator, katalisator, dan fasilitator yang menumbuhkan industri kreatif. Supaya tidak kehilangan momentum, beberapa strategi yang dapat disarankan adalah sebagai berikut. Perlunya forum ekonomi kreatif yang dapat menghimpun pelaku industri kreatif supaya jangan jalan sendiri-sendiri.

Forum ini bertanggung jawab menjabarkan cetak biru ekonomi kreatif nasional ke dalam cetak biru industri kreatif Jawa Barat dan Kota Bandung. Dinas, asosiasi, perhotelan, dan pendidikan juga perlu duduk bersama membuat agenda tahunan apa yang perlu ditampilkan oleh Jabar atau Kota Bandung.

Ruang berekspresi perlu disediakan oleh pemerintah kota misalnya Gedung Sate atau kawasan Cilaki yang dapat digunakan hari Sabtu-Minggu untuk komunitas kreatif supaya gagasan dan pasar berkembang pesat. Gasasan lainnya adalah mencari kota yang cocok dengan komunitas Bandung sebagai sister city dalam mengembangkan industri kreatif.

Dewan kota juga perlu mengeluarkan payung hukum atau peraturan daerah kalau industri kreatif mau dijadikan salah satu komoditas unggulan Kota Bandung. Proteksi karya kreatif terutama warisan budaya perlu terus ditingkatkan melalui inventarisasi, pengkajian, direktori, promosi, pendaftaran ke lembaga dunia, dan penegakan hukum.

Sudah saatnya perguruan tinggi berbasis kreatif yang jumlahnya lebih dari 20 di Kota Bandung dapat bekerja sama dalam mendorong tumbuhnya komunitas kreatif melalui pengklasteran dan kolaborasi riset. Mereka perlu turut dalam memecahkan permasalahan teknis, modal, dan pasar industri kreatif. Sekolah-sekolah kejuruan dan balai-balai pelatihan kerja dapat diperkenalkan dengan industri kreatif untuk mendukung kegiatan produksi dan kreasi. Promosi media sangat penting terutama memberdayakan televisi daerah. Demikian juga dengan penyediaan beasiswa dan penghargaan perlu terus digulirkan oleh pemerintah daerah.

Oleh Dr. TOGAR M. SIMATUPANG
Penulis, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, Bandung.
PIKIRAN RAKYAT - 28 Agustus 2007
Subscribe in a reader

Posted by Andi S. Boediman at Tuesday, June 17, 2008
Labels: bandung, creative city
0 comments:
Post a Comment
Links to this post
Create a Link
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)


About Me
Andi S. Boediman
Jakarta, Indonesia
As a Strategic Innovation Consultant, I am involved in various initiatives in Creative Industry, such as Digital Studio–School of Visual Communication, Admire–Integrated Marketing Communication, FGD - promotion, publishing & packaging, Ideopoliz creative cluster, and many others.
View my complete profile

cetak biru ekonomi kreatif

DEPARTEMEN PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MEDIA BRIEFING
Pusat HUMAS Departemen Perdagangan
Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110
Tel: 021-3858216/Fax: 021-3812016
www.depdag.go.id
Pekan Produk Budaya Indonesia Ke-2:
Momentum Peluncuran Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia
Jakarta, 29 Mei 2008 – Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, hari ini mengadakan media briefing mengenai pelaksanaan konvensi dan seminar dalam rangka Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI) 2008. PPBI ini akan diselenggarakan pada 4-8 Juni 2008, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Bertempat di Jakarta Convention Center (JCC), PPBI 2008 akan dibuka oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan rencananya ditutup oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Pada kesempatan tersebut akan diserahkan Cetak Biru Ekonomi Kreatif oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kepada Presiden RI. Buku Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia dimaksud selanjutnya akan diserahkan oleh Presiden kepada Menko Kesejahteraan Rakyat untuk diteruskan kepada para menteri terkait agar ditindaklanjuti dengan menyusun kegiatan yang lebih konkrit dalam rumusan-rumusan rencana aksi yang terukur, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
Penyerahan Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia ini, menandai era baru pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia, yang diharapkan akan menjadi tumpuan bangsa Indonesia di masa depan.
Kegiatan PPBI 2008 ini diselenggarakan secara terkoordinasi lintas departemen dan lembaga terkait lainnya, yaitu Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Komunikasi dan Informatika, Kementerian Negara BUMN, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Dewan Kerajinan Nasional, serta KADIN Indonesia.
Acara yang mengambil tema “Warisan Budaya Bangsa, Inspirasi Kebangkitan Ekonomi Kreatif Indonesia” ini bertujuan:
1. Mendorong dan mempercepat proses pengembangan kesadaran untuk menyelamatkan, melestarikan, melindungi dan mengeksplorasi warisan budaya bangsa melalui inovasi dan kreativitas untuk pembangunan bangsa.
2. Menggalang persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendekatan kebudayaan dan kreativitas.
3. Membangun citra positif bangsa Indonesia yang berjatidiri karena didukung oleh kecintaan, kebanggaan serta keyakinan terhadap kekayaan, potensi dan keahlian yang bersumber dari warisan budaya bangsa dan kreativitas yang berdaya saing tinggi di era globalisasi, mendorong pertumbuhan pariwisata, perdagangan dan investasi.
4. Membangun industri masa depan yang mampu menciptakan produksi barang-barang dan jasa-jasa inovatif berbasis warisan budaya bangsa dan kreativitas yang mampu menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan devisa.
Kegiatan utama PPBI meliputi konvensi, pameran, gelar budaya dan pemberian piagam penghargaan.
1. Konvensi yang bertema “Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia” terdiri dari:
• Seminar dengan topik “Visi Indonesia dalam Pengembangan Ekonomi Gelombang Keempat: Warisan Budaya dan Ekonomi Kreatif” yang akan melibatkan sekitar 70 narasumber dari dalam dan luar negeri, diantaranya Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Ir. Jero Wacik, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, John Hartley pakar ekonomi kreatif dari Queensland University, Kittiratana Pitipanich dari Thailand Creative and Design Center, Prof. Martin Reiser dari Nanyang Technology University, Ono W. Purbo dan Sardono W. Kusumo dari kalangan intelektual, serta Rachmat Gobel dari kalangan pengusaha.
• Lokakarya terdiri dari 14 sesi yang mewakili setiap subsektor industri kreatif dalam sesi yang , yaitu periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fesyen, film, video dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan.
Peserta lokakarya berjumlah sekitar 700 orang yang terbagi dalam 14 sub sektor (masing-masing subsektor 50 orang), terdiri dari: pelaku budaya, pelaku industri kreatif Indonesia, pelaku usaha, KADIN Indonesia, birokrat dari pusat, provinsi, pemerintah kota/kabupaten, akademisi, departemen terkait, asosiasi terkait, pers, dan sebagainya.
Lokakarya ini menindaklanjuti Forum Group Discussion (FGD) 14 subsektor industri kreatif yang diselenggarakan secara intensif.
Dalam membuat kerangka kerja Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia, Departemen Perdagangan menggunakan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai model/acuan yang akan membawa industri kreatif dari titik awal (origin point) menuju tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia 2030 (destination point). Bentuk dari Model Pengembangan Ekonomi Kreatif adalah layaknya sebuah bangunan yang akan menguatkan ekonomi Indonesia, dengan landasan, pilar dan atap sebagai elemen-elemen bangunan tersebut, yaitu: industry, technology, resources, institution, financial intermediary.
Landasan industri kreatif adalah sumber daya manusia (people) Indonesia yang merupakan elemen terpenting dalam industri kreatif, sebagai peran sentral dibandingkan faktor-faktor produksi lainnya. Aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif adalah cendikiawan (intellectuals), bisnis (business) dan pemerintah (government) yang disebut sebagai sistem ‘triple helix’. Hubungan yang erat, saling menunjang dan bersimbiosis mutualisma antara ketiga aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar-pilar model industri kreatif akan menghasilkan industri kreatif yang berdiri kokoh dan berkesinambungan.
• Dalam sidang pleno ekonomi kreatif akan dirumuskan hasil seminar dan lokakarya “Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia” dan “Penguatan Pondasi dan Pilar Industri Kreatif Menuju Sasaran Pengembangan Ekonomi Kreatif 2015”. Sidang pleno ini akan dipimpin oleh Menteri Perdagangan.
• Dialog dengan para duta besar terdiri dari dua sesi dengan topik “Peluang dan Tantangan Ekspor Produk Budaya”. Peserta dialog antara lain pelaku budaya, pelaku industri kreatif, pelaku usaha, KADIN Indonesia, birokrat, akademisi, departemen terkait, asosiasi terkait, pers, dan lain-lain.
• Diskusi dan tukar informasi juga dilakukan dengan beberapa pemerintah daerah yang bukan saja telah memiliki dan melaksanakan roadmap pengembangan ekonomi kreatif di daerahnya, seperti Bandung, Yogyakarta, Solo dan Bali.
• Klinik konsultasi meliputi konsultasi mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual, desain dan kemasan, klinik bisnis, pengembangan dan pelatihan ekspor, klinik pembiayaan, serta klinik film.
• Anjungan pembiayaan memberikan pelayanan konsultasi tentang kredit mikro, kecil, menengah dan ventura, simpan pinjam, kredit investasi tanpa agunan, program kemitraan.
• Anjungan Perguruan Tinggi dan Sekolah menampilkan karya-karya kreatif dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah kejuruan di Indonesia.
• Pelatihan meliputi pelatihan desain dan kemasan untuk produk kerajinan, teknik membatik, teknik negosiasi dan prosedur ekspor.
2. Pameran menampilkan 36 kategori produk ekonomi kreatif dalam 725 stan, yang meliputi produk kerajinan, fesyen, kuliner, furnitur, musik, film, periklanan, piranti lunak, animasi, fotografi, desain grafis, desain interior, lukisan, dan sebagainya.
Di zona produk makanan akan ditampilkan tumpeng raksasa “tempo doeloe dan masa kini” yang akan didaftarkan dalam rekor MURI.
Pameran juga dilengkapi dengan beberapa kegiatan demo seperti demo membatik, menenun, membuat ukiran dan perhiasan.
3. Gelar Budaya akan diselenggarakan selama pameran berlangsung yang meliputi seni tari, musik, peragaan busana dan teater, pertunjukan film, serta pameran dan lelang lukisan.
4. Piagam Penghargaan akan diberikan kepada para perajin dan seniman yang berpartisipasi dalam PPBI 2008, yang produknya atau karya seninya dinilai paling inovatif dan kreatif oleh Dewan Juri. Penghargaan juga diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang dinilai telah berjasa dalam pengembangan seni budaya dan kerajinan nasional.
“Kami berharap pelaksanaan PPBI 2008 ini dapat mendorong optimisme baru menyongsong masa depan yang lebih baik dan meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap budaya Indonesia,” tegas Mendag.
-selesai-
Informasi lebih lanjut, hubungi:
Srie Agustina
Kepala Pusat Humas
Departemen Perdagangan
Tel: 021-3858216
Fax: 021-3812016
Email: kahumas@depdag.go.id
srie_agst@yahoo.co.id

kreatif dan kepemimpinan

Kota Kreatif dan Kepemimpinan
Contributed by Administrator
Thursday, 12 June 2008
Last Updated Thursday, 12 June 2008
MENJADIKAN BANDUNG KOTA KREATIF: BUTUH PEMIMPIN DAN BIROKRASI YANG INOVATIF Oleh: Hetifah Sj
Siswanda (Ketua Ikatan Alumni Planologi ITB) Warga kota yang cerdas, memiliki motivasi, imajinasi dan kreativitas
adalah sumber daya utama dari kota seperti Bandung. Merekalah yang akan menentukan masa depan kota dan
kemampuan kota untuk beradaptasi dan bertahan dari berbagai transisi dan krisis. Dalam situasi krisis seperti saat ini,
banyak solusi lama tidak dapat bekerja lagi.Namun mampu atau tidaknya suatu kota mencari solusi dan melampaui
krisis tersebut, selain tergantung warganya, juga sangat tergantung pada orang-orang yang diberi amanat untuk
merencanakan dan mengelolanya. Apakah pimpinan dan birokrasi kota bisa berpikir, merencana, dan bertindak secara
kreatif dan menjadikan hal-hal inovatif menjadi realitas atau tidak, adalah satu tantangan kota-kota masa kini.
MENJADIKAN BANDUNG KOTA KREATIF: BUTUH PEMIMPIN DAN BIROKRASI YANG INOVATIF Oleh: Hetifah Sj
Siswanda (Ketua Ikatan Alumni Planologi ITB) Warga kota yang cerdas, memiliki motivasi, imajinasi dan kreativitas
adalah sumber daya utama dari kota seperti Bandung. Merekalah yang akan menentukan masa depan kota dan
kemampuan kota untuk beradaptasi dan bertahan dari berbagai transisi dan krisis. Dalam situasi krisis seperti saat ini,
banyak solusi lama tidak dapat bekerja lagi.Namun mampu atau tidaknya suatu kota mencari solusi dan melampaui
krisis tersebut, selain tergantung warganya, juga sangat tergantung pada orang-orang yang diberi amanat untuk
merencanakan dan mengelolanya. Apakah pimpinan dan birokrasi kota bisa berpikir, merencana, dan bertindak secara
kreatif dan menjadikan hal-hal inovatif menjadi realitas atau tidak, adalah satu tantangan kota-kota masa kini. Perlu
kepercayaan diri Hal pertama yang perlu ada adalah adanya rasa percaya diri dari pemimpin bahwa persoalanpersoalan
perkotaan yang nampak rumit sesungguhnya masih bisa dicari jalan keluarnya melalui cara-cara yang tidak
konvensional. Kepemimpinan yang visioner dan sekaligus mampu memberikan dorongan bagi publik, sektor swasta
maupun kelompok swadaya untuk terlibat sangat dibutuhkan. Jika pemimpin tetap mencoba memecahkan segala
masalah perkotaan dengan cara-cara lama, masalah-masalah yang sama juga akan terus dihadapi. Karena dinamika
yang sangat tinggi dan perubahan yang pesat di kota-kota seperti Bandung, kita tidak akan mungkin memecahkan
persoalan hari ini dengan cara berpikir seperti sepuluh tahun lalu. Sayangnya pemimpin bisa terjebak dalam sistem
administrasi pengelolaan kota yang sangat rigid, yang sangat tidak sesuai dengan masalah perkotaan yang menuntut
adanya respons yang unik dan cepat untuk masing-masing persoalan. Sebagai agen-agen pelaksana tugas sehari-hari
dari keputusan-keputusan penting yang telah dibuat para pengambil keputusan tentang apa potensi kota dan bagaimana
kota dikembangkan, biasanya birokrasi tidak memperoleh cukup kesempatan untuk memperdebatkan berbagai alternatif
strategi dan langkah aksi yang bisa diambil. Adalah juga hal yang biasa ketika birokrasi lambat atau lalai menanggapi
suatu masalah sederhana namun penting seperti menambal jalan berlubang atau mencegah tanaman di taman kota
agar tidak mati karena kekeringan. Kota yang kreatif menuntut adanya perubahan paradigma, cara berpikir dan cara
bekerja yang baru dari para aparat birokrasi di kota. Mereka perlu lebih tanggap dan mau membuka diri terhadap
berbagai ide dan gagasan-gagasan baru dan kemudian menerjemahkannya ke dalam langkah-langkah praktis. Metode
kerja, penyusunan rencana program maupun anggaran tentunya tidak mengarah pada satu jawaban pasti, tetapi akan
membuka diri pada berbagai kemungkinan dari mana inovasi dan ide-ide baru biasanya muncul. Institusi birokrasi yang
inovatif menuntut adanya prosedur baru dalam perencanaan dan pemecahan masalah yang bersifat lebih fleksibel,
partisipatif dan reflektif. Ide kreatif akan lebih sukses ketika dilaksanakan oleh aparat pelaksana yang juga berpikir dan
bekerja kreatif. Beberapa contoh solusi kreatif Ketika kita dihadapkan pada masalah transportasi di perkotaan, polusi,
serta adanya lonjakan harga BBM, misalnya, maka berbagai moda transportasi alternatif yang hemat enerji dan
sekaligus bisa dinikmati seperti berjalan kaki, bersepeda, dan berbecak, bisa didorong dan diberi tempat yang lebih layak
dengan menyediakan ruang yang aman dan nyaman maupun fasilitas lain yang memadai. Saat ini kota Bandung
menakutkan bagi pejalan kaki dan pemakai sepeda karena berbagai resiko yang harus dihadapi seperti terserempet
atau menjadi korban tabrak lari. Tidak ada tempat-tempat istirahat dan tempat parkir yang aman bagi mereka di jalanjalan
utama seperti jalan Dago, Merdeka, dan RE Martadinata (Riau). Secara paralel, pemikiran-pemikiran imajinatif
dalam penggunaan enerji alternatif untuk transportasi juga bisa dikembangkan oleh perguruan tinggi seperti Institut
Teknologi Bandung. Berbagai kemungkinan pengembangan dan penyesuaian transportasi publik tentu bisa didiskusikan
dengan melibatkan sektor bisnis transportasi maupun perwakilan dari pemakai jasa. Pendekatan yang lebih holistik
untuk mengembangkan mass-rapid transport seperti monorail juga dapat terus dijajaki kemungkinannya. Partisipasi
akan menghasilkan solusi yang kaya Kreativitas dalam memecahkan masalah perkotaan yang kompleks lebih mungkin
untuk dikembangkan di kota-kota yang merupakan amalgama dari berbagai jenis orang dengan berbagai keahlian,
budaya, usia, jenis kelamin, dan kepedulian sosialnya. Pendekatan-pendekatan yang partisipatif dan inklusif akan
menghasilkan solusi yang kaya, variatif dan tepat guna. Solusi kreatif menuntut adanya kapasitas untuk
mengkombinasikan pemikiran konseptual dengan kemampuan praktikal. Jarang sekali kombinasi berbagai kemampuan
ini ada dalam satu orang, tapi sangat mungkin ada dalam tim. Itu sebabnya pemecahan setiap masalah perkotaan
sebaiknya dilakukan tim yang mengkombinasikan berbagai orang yang memiliki kepentingan, kepedulian dan sekaligus
kompetensi dalam bidang tersebut. Pemecahan masalah perkotaan yang kreatif dan bertanggung jawab merupakan
satu perjalanan bukan tujuan. Proses menjadi penting, karena setiap upaya perlu dicek, diadaptasi dan diperbaiki terus
menerus. Proses ini membutuhkan keterlibatan aktif dari mereka yang akan mengalami masalah maupun yang akan
terkena dampak dari suatu kegiatan. Perencanaan adalah proses kreatif Ke depan, jika Bandung akan dikembangkan
menjadi “Kota Kreatif” sangat diperlukan adanya upaya yang masif untuk meningkatkan kapasitas
kepemimpinan dan cara kerja birokrasi, temasuk dalam cara bagaimana rencana dibuat dan siapa yang membuat.
Perkumpulan Inisiatif
http://www.inisiatif.org Powered by Joomla! Generated: 18 July, 2008, 10:47
Dalam pandangan saya, seorang perencana adalah mereka yang memfasilitasi proses urban strategy making yang
bersifat konsultatif dan partisipatif, bukan mereka yang menyusun rencana dengan cara teknokratis semata. Pembuatan
strategi kota memiliki lingkup yang lebih luas dari sekedar perencanaan kota yang klasik. Ketika membuat strategi kota,
para perencana tidak boleh meremehkan dinamika sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung di kota, namun
sebaliknya, memanfaatkannya untuk memperbaiki atau memecahkan masalah secara kreatif. Para perencana jangan
terjebak dalam proses birokrasi yang inkreatif dan perencanaan hendaknya dibuat menjadi proses yang bersifat
deliberatif bukan proses teknis yang sempit.
Perkumpulan Inisiatif
http://www.inisiatif.org Powered by Joomla! Generated: 18 July, 2008, 10:47

inovasi

Ekosistem Inovasi
By Avanti FONTANA ⋅ April 1, 2008 ⋅ Email this post ⋅ Print this post ⋅ Post a comment
Menarik membaca artikel pada Harvard Business Review April 2008 berjudul “Reverse Engineering
Google’s Innovation Machine” ditulis oleh Bala Iyer & Thomas H Davenport.
Sebagai perusahaan besar berbasis internet, Google menonjol sebagai perusahaan yang sukses dan sangat inovatif. Google unggul dalam IT dan arsitektur bisnis, eksperimentasi, improvisasi, pengambilan keputusan yang analitis, pengembangan produk yang partisipatif, dan bentuk-bentuk inovasi yang berbeda dari yang biasanya. Budaya perusahaan Google berhasil menarik talenta-talenta teknik yang cemerlang.
Iyer & Davenport melakukan pengamatan dan penelitian atas perusahaan Google yang berkaitan dengan bagaimana praktik-praktik inovasi bisnis dan manajemen Google. Sebagai pembelajar manajemen inovasi, saya tertarik mengangkat sedikit intisari artikel Iyer & Davenport di sini (1) untuk membagi info singkat tentang tulisan menarik dan inspiratif ini dan (2) mau mendorong para pembelajar manajemen inovasi untuk melihat dan mengamati dengan cukup dekat praktik-praktik manajemen inovasi perusahaan-perusahaan baik itu skala UKM maupun skala besar di Indonesia. Tidak heran bila nanti dalam proses penelitian dan pengamatan ini para pembelajar memperoleh pandangan-pandangan dan resep-resep manajemen inovasi yang menarik dan dapat diterapkan pada organisasi lain–dengan tetap berpegang pada catatan bahwa konteks perusahaan dan bisnis berperan penting dalam menentukan keberhasilan setiap emulasi resep manajemen baru dari perusahaan atau organisasi lain. Perhatian lebih rinci pada setiap konteks perusahaan dan medan ekosistem bisnis dan inovasinya akan menambah data dan informasi bagi setiap inspirasi manajemen baru.
Kembali kepada intisari artikel Iyer & Davenport. Mereka mengidentifikasi praktik-praktik kunci dari inovasi Google yang dapat diemulasi oleh perusahaan atau bisnis lain. Berita baiknya adalah kita dapat belajar dari keberhasilan dan keunikan Google berinovasi dan dapat mencontoh model dan praktik manajemen inovasi yang relevan seperti penggunaan arsitektur berbasis teknologi untuk inovasi yang disertai dengan strategi organisasi dan budaya yang harmonis dan saling menguatkan, sebagai bukti hasil pemikiran sangat matang. Beberapa poin tindakan yang menjadi unggulan dalampenatakelolaan inovasi, seperti ditulis dalam artikel Iyer & Davenport: mempraktikkan kesabaran stratejik (strategic patience); mengeksploitasi infrastruktur “build to build”; mengatur ekosistem inovasi perusahaan; mengendalikan arsitektur disain organisasi; mendukung inspirasi dengan data; dan menciptakan budaya-budaya organisasi yang saling mendukung-membangun-menguatkan.
Inovasi pada zaman internet membutuhkan kapabilitas dinamik dalam mengantisipasi perubahan-perubahan pasar dan dalam menawarkan produk dan fungsi atau fitur baru dengan cepat. Google telah melakukan investasi substansial dalam mengembangkan kapasitas berinovasi (kapasitas inovasi) di tengah lingkungan bisnis yang berubah cepat. Dari artikel Iyer & Davenport, saya dapat menarik kesimpulan: setiap penerapan manajemen inovasi harus memperhatikan konteks perusahaan dan konteks lingkungan bisnis di mana perusahaan beroperasi. Pun setiap resep inovasi dapat diemulasi dengan tetap memperhatikan konteks perusahaan tujuan emulasi. Inovasi berbasis konteks.
Menurut saya, inovasi pada zaman internet membutuhkan urgensi aplikasi dalam: kreativitas sosial (social creativity), percepatan pengembangan produk (accelerated product development), disain organisasi dan budaya kreatif (creative organization design and culture), pendekatan humanis (human approach) dan berpolapikir spiritus (superconscious mind) yang berciri cinta, antara lain ditandai dengan sifat/sikap responsif, eksploratif, komunikatif, optimistik, ada ketertarikan, berkelimpahan, saling terkait (connected), atentif, fluid, ada kesabaran, dan dapat serta mau melayani untuk kepentingan yang lebih besar, orang banyak (able to serve and be served), trust, keutuhan, kebijaksanaan, kebersatuan, kebebasan, kreativitas…@F
Discussion
4 comments for “Ekosistem Inovasi”
1. Dari ilustrasi di atas, kreativitas sosial terjadi tidak saja di tingkat komunitas masyarakat dan negara, tetapi juga di tingkat organisasi bisnis. Menarik sekali menerapkan dan memasyarakatkan praktik kreativitas sosial untuk menciptakan nilai tambah bagi individu, organisasi dan masyarakat.
Kreativitas sosial di Indonesia, antara lain ditentukan oleh sistem pendidikan di Indonesia. Model sistem pendidikan yang seperti apa yang akan menyuburkan kreativitas sosial?
Posted by Phillip Gobang | April 6, 2008, 1:45 am
2. Inovasi sudah seharusnya berbasis konteks, ini seharusnya menjadi acuan untuk mengamati bentuk, praktik, pola dan manajemen inovasi dengan berpedoman pada radar inovasi. Kreativitas sosial harus dilihat lagi dalam bentuk praktiknya agar pembentukan suatu ekosistem inovasi lebih subur dengan partisipasi yang lebih luas.
Posted by dudi hendrakusuma syahlani | April 9, 2008, 10:20 pm
3. Inovasi adalah keberhasilan ekonomi karena produsen/penjual/penyedia barang atau jasa memperkenalkan cara baru dalam mentransformasi input menjadi output atau dalam mengkombinasi cara-cara mentransformasi input menjadi output untuk menciptakan perubahan besar dalam hubungan antara nilai guna (yang dipersepsikan dan dirasakan oleh konsumen, pengguna, masyarakat) dan nilai moneter (harga) yang ditetapkan oleh produsen/penjual/penyedia barang dan jasa. Perekonomian berdaya inovasi mampu menghasilkan nilai tambah unik dan substansial bagi masyarakatnya dan otomatis berimbas positif kepada pelaku-pelaku perekonomian ini. Akankah Indonesia memanfaatkan peluang pembangunan perekonomian kreatif, punya stamina tangguh di tengah gempuran krisis? Akankah Indonesia merespons krisis secara proaktif? Bagaimana ekosistem inovasi Indonesia?
Bagaimana ekosistem inovasi perusahaan atau organisasi Anda?
Posted by Avanti FONTANA | April 22, 2008, 7:04 pm
4. Universitas Nusa Nipa (UNIPA) di Maumere-Flores Nusa Tenggara Timur bekerjasama dengan Pusat Studi Inovasi (Center for Innovation Studies) menyelenggarakan Seminar & Diskusi bertema INOVASI & MANAJEMEN PENGETAHUAN: MENGANDALKAN KREATIVITAS SOSIAL KOMUNITAS pada Selasa 27 Mei 2008 jam 08.00-12.00 WITA bertempat di Kampus UNIPA, Maumere-Flores, NTT.
Saudara/Saudari yang berminat hadir kami undang untuk menghubungi 081-290-765-97 atau 0813-1018-2099 atau email IMEDIA at avantifontana.com. @F

brpikir kreatif

Blogcrowds Blogger Template
Berfikir Kreatif
Diperlukan kemampuan berfikir kreatif untuk dapat mempertahankan hidup. Juga bagi mereka yang ingin bergerak serta hidup dalam gelombang perubahan yang cepat saat ini.
Penguin raksasa, burung gajah, adalah sebagian dari binatang yang tidak akan pernah lagi di lihat didunia, saat ini ada 400 species dalam daftar tunggu yang akan segera punah. Bagaimana dengan manusia? Secara species tidak punah, tetapi institusi mereka yang punah dan tersingkir!
Beberapa tahun terakhir ini ada beberapa institusi besar yang menghilang dari peredaran, perusahaan pesawat terbang Fokker telah bangkrut. Dan masih banyak lagi lainnya. Hal ini disebabkan tingginya kompetisi, meningkatnya permintaan pelanggan, kontrol lingkungan semakin ketat, permintaan SDM unggul dan perkembangan teknologi yang sangat cepat. Semua faktor tersebut bergabung menyatu untuk mengancam dan menantang. Yang mati adalah mereka yang gagal mengatasi, gagal beradaptasi atau gagal berubah sesuai dengan zamannya.
Globalisasi yang dipicu oleh empat hal (Yudo S, 1996) yaitu pecahnya Soviet dan negara Balkan yang turut menambah dalam daftar negara mandiri yang mempunyai “competitive advantage”, integrasi internasional dan regional seperti APEC, MEE, WTO yang mengupayakan “free trade and investment”, kematangan negara maju yang menyebabkan banyak negara lain mengalami kelambatan pertumbuhan ekonomi serta perubahan teknologi dan teknologi informasi. Keempat faktor tersebut berdampak pada perubahan dalam banyak hal.
Di Indonesia data jumlah pengangguran terbuka mengalami peningkatan dari 3,17 % pada tahun 1990 menjadi 7,24 % pada tahun 1995. Angka pengangguran belum pernah mencapai setinggi ini.
Kini yang pasti adalah ketidakpastian, semuanya akan berubah, yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Setiap saat yang dihadapi oleh ummat manusia adalah perubahan.
Dalam kondisi seperti ini sangat diperlukan kemampuan berfikir kreatif untuk dapat mempertahankan hidup, dan bagi mereka yang bergerak serta hidup dalam gelombang perubahan yang sangat cepat ini.
Kegiatan Berfikir Kreatif
Apakah sebenarnya kegiatan berfikir kreatif itu? Menurut versi yang berbeda-beda kreatif adalah sebagai berikut :
• Having power to create, requiring intellegence and imagination (Oxford Dictionary)
• Having the ability to create, by originality of thought, showing imagination (The Newcollins International Dictionary)
• Kemampuan mental dan berbagai jenis khas manusia yang dapat melahirkan yang unik, berbeda, orisinal, baru, indah, efisien, tepat sasaran dan tepat guna.
• Kelincahan mental dan berfikir “dari dan ke” segala arah, fleksibilitas konseptual.
Dari beberapa definisi berfiir kreatif tersebut ternyata saling melengkapi dan mempunyai fokus yang sama, yaitu bertemunya antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional. Adapun istilah yang berdekatan adalah inovasi, improvisasi, discovery, dll
Segi Mental Orang Kreatif
Kreatifitas bukanlah monopoli hak orang genius saja. Ternyata IQ tidak menjadikan jaminan terhadap orang yang mempunyai kemampuan berfikir secara praktis, cekatan, orisinil dan kreatif. Sikap kreatif harus didukung oleh kecerdasan emosional - EQ. Adapun segi-segi mental orang kreatif adalah (J Chandra, 1994) :
Hasrat, untuk mengubah hal-hal disekelilingnya menjadi lebih baik.
Kepekaan, bersikap terbuka dan tanggap terhadap segala sesuatu.
Minat, untuk menggali lebih dalam dari yang tampak dipermukaan.
Rasa ingin tahu, semangat yang tak pernah mandeg untuk mempertanyakan.
Mendalam dalam berfikir, sikap yang mengarahkan untuk pemahaman yang dalam pula.
Konsentrasi, mampu menekuni suatu permasalahan hingga menguasai seluruh bagiannya.
Siap mencoba dan melaksanakan, bersedia mencurahkan waktu dan tenaga untuk mencari dan mengembangkan.
Kesabaran, untuk memecahkan permasalahan dalam detailnya.
Optimisme, memadukan antusiasme (kegairahan).
Mampu bekerja sama, sanggup berfikir secara produktif bersama orang lain.

Ruang Lingkup Berfikir Kreatif
Hendaknya kreatifitas ditinjau dari perspektif yang luas, bukan sekedar menghasilkan ide-ide baru, yang dapat diterjemahkan dalam (Umi Pujihastuti, 1996) :
• Kemampuan memenuhi tuntutan profesi.
• Menciptakan kemungkinan dan terobosan-terobosan baru.
• Menyelesaikan masalah atau problem
Sedangkan menurut D. H. Weiss, 1990, ruang lingkup berfikir secara artistik yang banyak memanfaatkan otak kiri adalah dengan memulai asumsi dengan :
• Dapatkah kita mengerjakan segala sesuatu dengan cara baru ...
• Menggantikan apa yang kita lakukan dengan sesuatu yang lain ...
• Meminjam atau mengadaptasi apa yang dilakukan orang lain ...
• Memberikan sentuhan baru dengan cara lama ...
• Melakukannya dengan cara terbaik ...
Semua akhirnya kembali kepada naluri kita, jika ide itu dapat menghasilkan manfaat dan kita merasakan adanya sentuhan kreatif. Karena tidak jarang atau seringkali sikap kreatif tidak bisa dinikmati orang lain.

Proses Berfikir Kreatif
Ketika anda mendapatkan sebuah masalah atau memang anda ingin membuat ide baru, maka kemampuan anda untuk memunculkan ide kreatif sangat diperlukan. Dalam proses kreatif biasanya kita akan melewati 5 fase utama, yaitu : persiapan, konsentrasi kreatif, bermain dengan gagasan, menyilangkan dua konsep dan mengukur kelaikan ide. Adapun proses tersebut secara ringkas dapat dijabarkan sebagai berikut :
PERSIAPAN. Pada fase ini perilaku pemikiran kita sangat divergen, yaitu menyebar ke segala arah. Yang anda perlukan adalah kemampuan memiliki konsep, informasi yang banyak, mempunyai fakta yang cukup dan anda telah mempunyai pengalaman atau lebih jauh anda perlu meneliti ulang.
KONSENTRASI KREATIF. Pada fase ini perilaku pemikiran anda bergerak dari divergen ke konvergen, sehingga masalahnya menjadi fokus dan memerlukan konsentrasi tinggi. Pada fase ini anda merumuskan masalah berdasarkan segala sesuatu yang anda miliki pada fase persiapan. Perlu adanya segmentasi permasalahan, definisikan tentang apa yang anda butuhkan - single need. Yang lebih penting lagi adalah kemampuan mengaitkan seluruh fakta dan data menjadi satu kesatuan sehingga menimbulkan persepsi kreatif (Gestalt psychology).
BERMAIN DENGAN GAGASAN. Pada fase ini perilaku pemikiran anda sangat divergen. Anda perlu membuka seluruh memori di otak anda, tidak cukup STM tapi LTM. Cobalah cari kaitan dari luar fakta dari apa yang telah anda peroleh. Cobalah anda meninggalkan cara berfikir rutinitas anda. Anda juga perlu sesekali meninggalkan fokus fikiran, sehingga perlu menggunakan konsep “seandainya”. Gunakan pula konsep “berfikir lateral”, jangan khawatir dengan kesalahan karena pada fase akhir anda harus menguji kelaikan pilihan anda. Perilaku yang sering digunakan yaitu dengan cara mengecilkan, membesarkan, memadukan, membalikkan, gunakan secara baru atau sesuaikan dengan kondisi yang ada untuk membuat “trigger session”
MENYILANGKAN DUA KONSEP. Pada fase ini perilaku pemikiran anda berubah-ubah dari divergen dan konvergen. Pada fase ini anda perlu membuat sintesa dan rekaan baru, maka cobalah ide-ide lateral anda yang liar untuk difokuskan.
MENGUKUR KELAIKAN IDE. Pada fase ini perilaku pemikiran anda sangat konvergen. Disini anda perlu memfokuskan ide, anda harus obyektif dan cermat. Gunakan analisa matriks untuk menghindari alternatif yang tercecer. Kalau anda cukup waktu, gunakan instrumen untuk mengukur kelaikan ide.
Agar Anda Lebih Kreatif Dan Inovatif .....
1. Belajarlah untuk menjadi seorang inovator yang terbaik: Seorang yang selalu mencari, menyesuaikan dan mengimplemantasikan ide-ide, baik yang baru maupun yang sudah lama. Carilah ide-ide secara aktif melalui cara membaca, pembacaan sepintas, membuat intisari dan lain sebagainya atas katalog-katalog, buku-buku laporan-laporan dan lain sebagainya. Demikain juga berusahalah melakukan :
1. Percobaan
2. Meneliti
3. Melakukan perjalanan
4. Berdiskusi
5. Mengunjungi pameran dan konferensi
6. Menggunakan program-program komputer
7. Melihat-lihat barang yang ada di toko
8. Menciptakan rasa kebutuhan
2. Ubahlah Kebiasaan dan citra diri anda: Jadilah seorang yang progresif, kembangkanlah atribut-atribut dan motivasi yang di butuhkan. Kembangkanlah sikap mencintai ide-ide, hal-hal, cara-cara, sistem-sistem dan teknologi-teknologi baru. Tuangkanlah ide-ide anda ke dalam bentuk tulisan.
3. Lakukanlah tindakan: Milikilah keberanian dan keparcayaan diri untuk menjadi inovator. Jadilah orang yang berbeda. Kegagalan memang akan muncul, namun kita akan belajar dari adanya suatu kesalahan. Emosi akan dapat membantu munculnya kreatifitas ---Kendalikanlah stress. Tekunlah selalu!!
4. Terimalah perubahan dan tantangan suatu masalah dengan tangan terbuka. Jadilah seorang dengan pikiran yang terbuka dan fleksibel.
5. Terapkanlah ide-ide pada setiap sudut kehidupan anda: Dalam kehidupan pribadi anda, karir, sekolah, bisnis dan di manapun juga. Ajukanlah selalu pertanyaan: “Dengan jalan lain yang bagaimana saya dapat melakukannya?” Hasilkan suatu pemecahan masalah, ide-ide, konsep dan teori-tori yang inovatif dan kreatif. Kembangkanlah sifat humor anda. Jadilah peka terhadap setiap kesempatan-kesempatan baik.
6. Pelajarilah tentang inovasi, perubahan dan kreatifitas sebagaimana anda berusaha untuk memenangkan diterimanya ide anda. Didiklah diri anda sendiri. Ambillah kursus-kursus yang tersedia. Kembangkanlah gairah terhadap adanya masalah yang anda hadapi. Belajarlah menjadi anggota suatu tim kerja, pemimpin dan inovator yang baik.
7. Milikilah selalu rasa ingin tahu dan jadilah seorang pengamat: Kembangkanlah semangat anda untuk mencari informasi. Inilah satu-satunya cara untuk dapat mengenali awal mula masalah yang sebenarnya. Hindarilah pertentangan cara berfikir anda. Temukanlah faktor-faktor yang dapat dijadikan kunci utama.
8. Bertanyalah Mengapa, Apa, Yang Mana, Di Mana, Kapan, Siapa, Bagaimana, Apabila: Refleksikanlah selalu terhadap setiap aspek dari masalah anda. Jangan terlalu capat berprasangka terhadap ide-ide.
9. Kembangkan daya berfikir reflektif dan kemampuan-kemampuan berfikir anda: Bermimpilah siang hari tentang masalah anda. Meloncatlah kesana kemari di antara daya nalar, kritis, khayalan dan berfikir melantur. Perbaikilah tingkat kemampuan berfikir anda melalui cara mempelajari sesuatu dan mempraktekkannya.
10. Bangunlah dasar pengetahuan dan intuisi anda melalui kegiatan membaca dan lain-lainnya: Jagalah kerapian arsip anda. Belajarlah tentang cara bagaimana melakukan penelitian dan cara memvisualisasikan.
11. Dengan pikiran yang terbebani, gunakan pemicu-pemicu untuk menstimulasi ide-ide, pendangan dan iluminasi: Manfaatkan kegiatan-kegiatan tersebut dalam item no. 1 di atas untuk memicu gudang ingatan anda dan mengkaitkannya dengan apa yang anda baca, lihat atau pikirkan. Dengan cara ini, anda akan memproduksi ide-ide malalui cara iluminasi yang berkembang secara bertahap. Pekalah terhadap setiap kesempatan-kesempatan baik.
12. Bebanlah pikiran anda dengan data, prinsip-prinsip dasar, teori-teori dan konsep-konsep dari masalah anda: Kemudian ---BERISTIRAHATLAH--- dan pastikanlah diri anda untuk memulai memikirkan kembali masalah anda. Dengan mendadak, suatu loncatan imajinasi akan mungkin terjadi dalam diri anda.
Penutup
Pada bagian ini akan saya berikan “tips” untuk sikap kreatif sehingga bermanfaat untuk anda kembangkan dengan belajar sendiri. Sikap kreatif jangan terbatas pada membaca dan seminar, ikutilah workshop atau lakukan modeling kreatifitas.
Kita perlu memiliki pengetahuan umum seluas mungkin, bacalah bidang apa saja. Belajar apapun tidak ada ruginya, jika anda mampu menggunakan asas manfaat. Mulailah dengan rajin mencatat, membuat dokumentasi dan jagalah kerapian arsip anda. Milikilah konsep-konsep pemandu atau “pisau-pisau tajam” untuk membedah permasalahan.
Camkan konsep ilmu, perubahan dan amal. Selamat mencoba.

kelembagaan lokal

1
DIAGNOSA KEMARJINALAN KELEMBAGAAN LOKAL
UNTUK MENUNJANG PEREKONOMIAN RAKYAT DI PEDESAAN
ROOSGANDHA ELIZABETH1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Badan Litbang Departemen Pertanian Bogor
Jl. A. Yani No. 70. Bogor 16161
Email: caser@indosat.net.id
ABSTRACT
Failure of development in rural mirror marginalitically of local institute and brittle, which can
depict influence affect crisis to national economy. Rural development program which less lift
sovereignty (politics) socialism economic activity, uncared and also its rural resource interest factor
represent its uncared evidence traditional institute and structure, and the rural economics too; so
that progressively of brittle. All planner and organizer of development assessed less comprehend its
important role of rural local institute to development of rural economics and agricultural sector in
sustaining national economy. If this condition anticipated, efficacy transformation of local institute
to economics of rural society includes; cover culture social typically can be existed, what supported
powered of human resource and leadership factor as actor of progress activator.
Keywords: Marginalitically of Local Institute Concept, National Economy, Rural Resources.
ABSTRAK
Kekeliruan utama dalam pembangunan pertanian mencerminkan kemarjinalan konsep kelembagaan
lokal, yang mampu menggambarkan pengaruh dari dampak krisis terhadap perekonomian nasional.
Kemarjinalan kelembagaan lokal di pedesaan dapat ditunjukkan oleh kelemahan dalam
pengembangan dan penerapan aspek kepemimpinan. Kombinasi agricultural development dan
rural development menjadi rural-agricultural development merupakan satu program pembangunan
pedesaan yang lebih baik dan komprehensif. Upaya pembangunan perekonomian dan kelembagaan
pedesaan seharusnya berbasis sumberdaya setempat, dengan mengembangkan budaya non-material
untuk meningkatkan daya saing modal sosial (social capital) dan ekonomi pertanian di pedesaan,
yang mencerminkan adanya penghargaan azas keadilan dan keberlanjutan. Tranformasi
kelembagaan terlihat pada berfungsinya asas keterwakilan, transparansi, akuntabilitas oleh elit
politik dan aparat pemerintah di daerah yang menempatkan masyarakat pedesaan sebagai mitra dan
pelaku strategis pemberdayaan ekonomi pedesaan.
Kata kunci: Kemarjinalan Konsep Kelembagaan Lokal, Perekonomian Rakyat, Sumberdaya
Pedesaan.
PENDAHULUAN
Sektor pertanian di pedesaan jika ditangani secara serius, sesungguhnya dapat
menjadi strategi untuk recovery sekaligus tulang punggung (back bone) bagi
perkembangan sektor riil dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia semenjak
pertengahan tahun 1997. Hal ini terbukti oleh daya hidupnya yang tinggi, ketika sektor lain
ambruk. Ciri khas usaha sektor pertanian salah satunya adalah terlibatnya begitu banyak
orang dengan pemilikan sumberdaya dan ketrampilan yang rendah, serta social network
yang kurang mendukung. Salah satu upaya pengembangan social network dapat dilakukan
1 Peneliti di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (d/h PSE), Bogor. Balitbang, Pertanian,
Departemen Pertanian.
2
melalui pemberdayaan (empowerment) kelembagaan tradisional masyarakat di pedesaan
yang makin tersisih dan tampaknya belum memadai.
Pembangunan pedesaan utamanya bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup
masyarakatnya. Beberapa strategi pembangunan pedesaan, antara lain seperti:
1. Peningkatan kesempatan kerja: dapat dilihat pada tingginya peningkatan tenagakerja,
memperluas kesempatan kerja di pedesaan dan daerah urban;
2. Peningkatan efisiensi: berkaitan dengan produktivitas sumberdaya melalui perbaikan
teknologi, dengan memperhatikan keselarasan (keharmonisan) ekologi dan konservasi
sumberdaya alam, sehingga bermanfaat dan berkelanjutan bagi generasi berikutnya;
3. Berkesinambungan: dengan harus memperhatikan lingkungan sosial, politik dan
ekonomi (ada relevansi/adaptasi pelaksanaan pembangunan terhadap kondisi daerah);
4. Equity: memerlukan akses luas terhadap sumberdaya, kesempatan kerja, infrastruktur;
5. Pemberdayaan: harus disokong melalui peningkatan kapasitas, kapabilitas masyarakat
pedesaan (memanfaatkan dan mengembangkan segala potensi yang ada).
Strategi tersebut menggagas bahwasanya pelaksanaan pembangunan pedesaan yang
ideal terbentuk karena partisipasi dari masyarakat desa (subjek) sebagai sasaran utamanya.
Namun strategi pembangunan model top-down (sentralistik) yang selama tiga dekade
terakhir telah memarjinalkan arti masyarakat lokal dan memandulkan inisiatif mereka serta
menjauhkan dari sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka.
Otonomi mereka terampas, mengakibatkan tidak dapat berkembang sebagai basis ‘selfpropelled
development’ (gerakan perkembangan mandiri). Pembangunan justru
menimbulkan kecenderungan differensiasi sosial yang semakin akut dalam kehidupan
petani. Jikapun ada yang disebut sebagai kebijaksanaan pembangunan lokal, tak lebih dari
penjabaran deduktif dari pembangunan nasional (konteks dan kepentingan masyarakat
lokal terabaikan/disubordinasikan terhadap kepentingan nasional). Potensi utama
sumberdaya ekonomi lokal telah dieksploitasi secara korporatis (dalam bentuk perusahaan
dan lembaga ekonomi yang menginduk ke pusat), sehingga kadar keterlibatan masyarakat
lokal sangat kecil baik sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan.
Kekeliruan pandangan harus dihilangkan bahwasanya pembangunan pedesaan baru
mencapai keberhasilan bila segala bentuk ketradisionalan (sosial, adat-budaya) desa dan
masyarakat diberdayakan. Hal tersebut disebabkan tidak adanya perencanaan
pembangunan pedesaan yang didasarkan pada evaluasi empiris, baik mengenai
perencanaan itu sendiri maupun mengenai ketradisionalan yang dimaksud, dimana rencana
tersebut akan diterapkan. Para perencana dan pengambil kebijaksanaan pelaksanaan
pembangunan pedesaan hendaknya meninjau ulang pemikiran Dove (1986) bahwa
3
kebudayaan tradisional terkait erat dengan proses sosial, ekonomis dan ekologis
masyarakat secara mendasar; bersifat dinamis (selalu selaras dan mengalami perubahan),
karenanya tidak bertentangan dengan proses pembangunan itu sendiri.
Makalah ini bertujuan untuk menguraikan, bagaimana konsep kemarjinalan
kelembagaan perekonomian pedesaan berperan besar dalam mengganjal perkembangan
perekonomian (pertanian) pedesaan. Benarkah jika sistem kelembagaan (ekonomi) suatu
masyarakat dibiarkan rapuh, maka program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi
apapun tidak akan mampu menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh?
Bagaimana memformulasikan strategi penguatan perekonomian yang mengandung unsur
penguatan jaringan kelembagaan perekonomian rakyat yang berbasis sumberdaya
pertanian yang memberdayakan masyarakat lokal serta memperhatikan keberadaan
pelestarian lingkungan, terhadap kalangan perumus kebijakan pembangunan?
Perumusan Masalah
Strategi pembangunan nasional yang sentralistik (juga di pedesaan, yang dengan
selalu menginduk ke pusat), menyebabkan bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan atau
wilayah, kurang memperhatikan aspek sosial (keadilan) dan budaya (keberlanjutan);
merupakan pola pembangunan yang konvensional (Salim, 1991), ternyata menuai kinerja
kelembagaan tradisional dan masyarakat lokal yang marginal. Berbagai dampak negatif
lanjutannya antara lain seperti: terjadinya kontraksi perekonomian (daerah maupun
nasional), degradasi sumberdaya alam (lahan dan air), terbatasnya kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha, semakin akutnya kesenjangan antar golongan masyarakat serta
memudarnya kelembagaan tradisional (dan ikatan/jaringan sosial masyarakat tradisional),
yang pada akhirnya berimplikasi pada lemahnya struktur sosial ekonomi masarakat yang
mayoritas pertanian di pedesaan.
Beberapa permasalahan yang hendak dikaji penulis dalam kesempatan ini, antara
lain: 1) Diagnosa bagaimana yang menjadi dasar pembangunan pedesaan; 2) Bagaimana
konsep kemarjinalan kelembagaan perekonomian pedesaan berperan besar dalam
mengganjal perkembangan perekonomian (pertanian) pedesaan; 3) Benarkah jika sistem
kelembagaan (ekonomi) suatu masyarakat dibiarkan marginal, maka program
pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu menjadi “mesin
penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh; 4) Bagaimana formulasi strategi penguatan
perekonomian yang seharusnya dirumuskan kalangan perumus kebijakan pembangunan
dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di pedesaan
4
Tujuan Penulisan.
Makalah ini memformulasikan beberapa tujuan seperti: 1) Diagnosa kritis yang
dapat menggambarkan marginalan kelembagaan perekonomian pedesaan. Hal ini dinilai
penting, sebab kemandirian dari kelembagaan perekonomian tersebut belum pernah
terwujud. Sistem kelembagaan (ekonomi) suatu masyarakat dibiarkan rapuh, maka
program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu
menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh; 2) Bagaimana kalangan
perumus kebijakan pembangunan memformulasikan strategi penguatan perekonomian
yang mengandung unsur penguatan jaringan kelembagaan perekonomian rakyat yang
berbasis sumberdaya pertanian yang memberdayakan masyarakat lokal serta
memperhatikan pelestarian lingkungan.
Justifikasi Penulisan
Strategi yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan
tradisional dalam pembangunan pertanian pedesaan merupakan hal yang penting. Dari
perspektif sosiologi pembangunan, kelembagaan diibaratkan sebagai organ-organ dalam
tubuh manusia yang mengaktifkan masyarakat tersebut. Setiap fungsi dalam masyarakat
pasti dijalankan oleh sebuah (atau lebih) kelembagaan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
(misalnya), dalam hal berproduksi dan distribusi, dijalankan oleh kelembagaan ekonomi.
Setiap orang yang terlibat di dalamnya diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai
pedoman bersikap dan berperilaku dalam berinterkasi sosial, yang dimantapkan kemudian
dengan adanya struktur yang baku, yang merupakan visualisasi dari siapa orang yang
terlibat, bagaimana posisi dan proporsionalnya.
Perubahan lingkungan eksternal menuntut perubahan operasional kelembagaan,
termasuk di tingkat lokal, perlu mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan
kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan
transformasi kelembagaan, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga tatahubungan
dari keseluruhan kelembagaan tersebut.
Revitalisasi strategi pembangunan pertanian dan pedesaan diperlukan menghadapi
globalisasi ekonomi, memperkuat kelembagan dan jaringan sosial masyarakat baik dari
aspek struktur atau konfigurasi jaringan yang efisien, tingkat partisipasi masyarakat, dan
peranan atau fungsi pembagian kerja secara organik. Makalah ini memvisualisasikan
kerangka teoritis seperti disajikan pada Gambar 1.
5
Gambar 1. Revitalisasi Lembaga Pertanian Tradisional
(Sumber: Diformulasi dari berbagai literatur)
Upaya mentransformasikan pertanian tradisional ke arah pertanian modern tersebut
tidak hanya melalui perubahan struktur ekonomi pertanian semata, namun juga
menyangkut perubahan struktur dan pola perilaku sosial masyarakat pedesaan. Salah
satunya melalui pemberdayaan kelembagaan oleh masyarakat lokal, sehingga
pembangunan pertanian dan pedesaan tidak menimbulkan kesenjangan yang akut (makin
melebar) antar golongan masyarakat. Dalam konteks inilah, maka kajian dan strategi
pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan lokal dipandang sebagai hal yang urgen
dalam program pembangunan pedesaan untuk memperkuat jaringan perekonomian
masyarakat pedesaan.
Menurut Etzoni (1961) mengemukakan bahwa pola keterkaitan atau keterlibatan
(compliance pattern) merupakan basis kelembagaan karena hubungannya merupakan
bagian sentral dari struktur kelembagaan. Tiga tipe tujuan utama (Etzioni) dalam
kelembagaan dalam menunjang perekonomian rakyat di pedesaan, yaitu: 1)tujuan perintah
(order); 2)economic dan culture (budaya); dan 3)adanya tujuan politik (political goals).
Sementara, Esman dan Uphoff (1984) dan Uphoff (1992) mengklasifikasikan kelembagaan
lokal dalam beberapa kategori, yaitu: administrasi lokal; pemerintah lokal; organisasi
(baca: kelembagaan) yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha, pelayanan
dan bisnis swasta yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional dan global.
Kelembagaan Tradisional
(yang eksis di pedesaan)
Pemerintahan
(inti-plasma)
Kelembagaan Publik
-.administrasi lokal
-.pemerintah lokal
Tradisional
(patron-klien)
Kelembagaan Komunitas
-.organisasi komunitas
-.kerjasama usaha
Kelembagaan Pasar
(rasional)
(Private sector)
PEMBERDAYAAN:
-. Masyarakat lokal
-. Kelembagaan tradisional
TRANSFORMASI:
-.kelembagaan lokal yang maju
responsif terhadap perubahan.
-.produk dan produktivitas rakyat
yang berdaya saing tinggi
PEMBANGUNAN PEDESAAN:
-.berhasil, berdayaguna, berkelanjutan
-.masyarakat mandiri (self-propelled
development)
6
KONSEP PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN KAITANNYA DENGAN
PROGRAM OTONOMI DAERAH
Beberapa konsep pembangunan pedesaan merupakan proses penyadaran sosial
guna meningkatkan kemampuan dan kemandirian untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang berharkat dan bermartabat, yang dikatakan mencapai tujuannya jika
akhirnya masyarakat memiliki kemampuan secara mandiri untuk menentukan pilihan bagi
kehidupannya. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pedesaan, perhatian
hendaknya ditekankan pada perbaikan ragam kelembagaan yang berdayaguna dan
berhasilguna serta ke arah pencapaian pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja yang
lebih baik. Sudah seharusnya “agricultural development” dikombinasikan dengan “rural
development” sehingga menjadi satu program pembangunan pedesaan komprehensif, yaitu:
“rural-agricultural development”, yang langsung menuju ke sasaran, yaitu: petani gurem
dan buruh tani tunakisma.
Dampak dari pembangunan yang serba sentralistik adalah suatu kesenjangan antara
realitas makro dan mikro, yaitu relatif makmur secara nasional (makro) namun miskin
secara lokal (mikro). Di tingkat lokal, kondisi ini melahirkan beragam bentuk protes
ketidakpuasan masyarakat lokal/tradisional yang menuntut keadilan, mulai dari bentuk
apatisme, penarikan diri, unjuk rasa, pemberontakan lokal, gerakan separatisme
(menggagas kemerdekaan ‘negara baru’). Semua gerakan ini diabaikan dengan dalih
stabilitas nasional demi kelangsungan pembangunan (pertumbuhan ekonomi) nasional,
dimana selama 30 tahun lebih, pemerintah pusat telah merampas otonomi masyarakat lokal
sehingga tidak dapat berkembang sebagai basis self-propelled development (gerakan
perkembangan mandiri).
Upaya pembangunan perekonomian dan kelembagaan pedesaan seharusnya
berbasis sumberdaya pertanian dan pedesaan setempat. Artinya, mengembangkan budaya
non-material untuk meningkatkan daya saing modal sosial (social capital) di pedesaan,
yang mencerminkan adanya penghargaan azas keadilan dan keberlanjutan. Dari sisi
ekonomi, penguatannya harus bermakna peningkatan daya saing ekonomi pertanian di
pedesaan.
7
SIMPUL KRITIS PERMASALAHAN TRANSFORMASI
KELEMBAGAAN LOKAL
Simpul kritis2 program pembangunan pedesaan untuk tranformasi kelembagaan
lokal di pedesaan, seperti:
1. Kelembagaan dibentuk pemerintah, terfokus pada upaya peningkatan produksi
pertanian jangka pendek dengan tekanan kegiatan di lapang pada penerapan teknologi
produksi.
2. Kelembagaan lebih ke tujuan distribusi bantuan dan memudahkan aparat pemerintah
mengontrol pelaksanaan program pembangunan di lapangan, dan bukan ditekankan
pada peningkatan peran aktif masyarakat pedesaan.
3. Seragamnya bentuk kelembagaan yang dikembangkan sangat terasa dalam
pemerintahan desa. Pembentukan kelembagaan seharusnya ditekankan untuk
memperkuat ikatan horizontal daripada memperkuat ikatan vertikal.
4. Pembinaan kelembagaan cenderung individual, misalnya dengan memfoluskan
pembinaan kepada kontak-kontak tani, yang sesuai prinsip ‘trickle down effect’ dalam
penyebaran informasi yang dianut dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
5. Pengembangan kelembagaan cenderung menggunakan pendekatan struktural dibanding
kultural, dengan harapan perilaku dan tindakan masyarakat akan mengikutinya.
6. Introduksi inovasi lebih menekankan pada pendekatan budaya material dibanding nonmaterial
atau kelembagaan (misalnya dalam pengembangan kelembagaan irigasi).
7. Introduksi kelembagaan baru umumnya telah merusak kelembagaan lokal dengan
makin lemahnya ikatan horizontal antar pelaku sosial dan ekonomi di pedesaan,
dikarenakan kegiatan proyek umumnya bersifat sektoral dan antar tahun bersifat
kontiniu.
8. Pengembangan kelembagaan melalui jalur program pemerintah umumnya sarat slogan
dan jargon politik daripada upaya nyata pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan.
9. Aspek teknologi masih dijadikan jurus klasik perancang kebijakan pemerintah untuk
memecahkan masalah marjinalisasi ekonomi masyarakat pedesaan. Masalah
kelembagaan yang semakin lemah justru dipandang dengan hanya sebelah mata.
10. Kelembagaan pendukung belum dikembangkan dengan baik, karena pelaksanaan
pembangunan, terutama di pedesaan, terjebak dalam pendekatan sektoral.
2 Saptana, Roosgandha E., dkk. 2003
8
11. Sikap dan tindakan (aparat) pemerintah di atas ditopang lemahnya pola pikir dan
pemahaman kelembagaan, mencakup aspek fungsi dan kekuatannya menggerakkan
pembangunan pedesaan.
TAHAP TRANSFORMASI KELEMBAGAAN DI PEDESAAN
Dengan memperhatikan simpul kritis transformasi kelembagaan dan uraian di atas,
terdapat tiga tahap transformasi kelembagaan tradisional di pedesaan3, yaitu:
1. Tahap Masyarakat Komunal
Tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang universal; ketergantungan
penduduk masih tinggi dan campur tangan pihak luar masih rendah (masa sebelum ‘era
pembangunan’, campur tangan pemerintah belum secara intensif); cirinya kepemilikan dan
distribusi manfaat secara bersama, pengambilan keputusan penting masih dilakukan
dengan menjunjung tinggi prinsip kebersamaan (solidaritas), serta penetapan keputusan
yang demokratis. Pembentukan lembaga yang dibutuhkan, mencakup struktur, pemilihan
anggota, pola kepemimpinannya, penetapan keputusan yang demokratis, rule of game
(aturan main) serta sanksi-sanksinya. (contoh: KAN –Karapatan Adat Nagari – di Sumatera
Barat; Subak dan Banjar di Bali). Pada proses penyeragaman pemerintahan desa di
Indonesia melalui UU No.5/1974 tentang pemerintahan desa, kelembagaan contoh tersebut
tetap eksis, artinya dengan sedikit kelembagaan namun kaya dalam fungsi dan
cakupannya.
2. Tahap Penghancuran Masyarakat Komunal
Invasi kekuatan terhadap masyarakat desa mulai terasa sejak ‘era pembangunan’ oleh
pemerintah Orde Baru. Tanpa pengenalan dan pemahaman memadai pada masyarakat
lokal, berbagai kelembagaan baru diintroduksikan dengan struktur dan norma yang telah
ditentukan. (contoh: koperasi/ BUUD/ KUD, LKMD, LMD). Kondisi ini bukannya
memperkuat jaringan kelembagaan lokal, tapi justru merusak/menghancurkan
kelembagaan lokal (terjadi gejala banyak kelembagaan, namun miskin fungsi) dan lebih
sebagai alat untuk mobilisasi sosial dan memudahkan kontrol dari atas, sehingga terjadi
deformasi kelembagaan lokal, bukan transformasi yang bersifat alamiah.
3 Saptana, Roosgandha E., dkk. 2004.
9
3. Tahap Komunalitas Baru (Model Transformasi Kelembagan)
Pemerintah mulai merasakan timbulnya kesalahan dalam penetrasi kelembagaan yang
tidak dibarengi pendekatan kultural (aspek kelembagaan), maka pemerintah mulai beralih
dengan pendekatan baru yang lebih menghargai komunalitas lokal. Peran kepemimpinan
lokal kembali direvitalisasi agar menjamin keberhasilan pembentukan kelembagaan
introduksi.
Kelembagaan LPD sebagai salah satu model kelembagaan transformasi/introduksi
(mulai digerakkan tahun 1990-an) menunjukkan perkembangan yang baik (walau belum
spektakuler), karena perannya mendukung perkembangan agribisnis (padi, palawija,
hortikultura, perkebunan rakyat dan peternakan) di pedesaan. Kelembagaan koperasi dan
lainnya mulai berusaha menjadi ‘mandiri secara sesungguhnya’, dengan tidak mengisolasi
diri untuk berbagai kepentingan lain, yang secara sosiologis saling berkaitan dengan aspek
sosial-ekonomi masyarakat pedesaan (agama, budaya, adat-istiadat dan sosial). Bahkan
sejak era otonomi daerah, kebijakan pengelolaan kelembagaan oleh pemerintah berangsurangsur
beralih kepada masyarakat lokal yang secara rutin diberi bantuan, salah satunya
berupa program BLM (walau belum mencukupi) untuk pembangunan sarana sosial umum
yang mendukung program pembangunan pedesaan.
Sudah saatnya konsep diversivikasi pertanian, industrialisasi pedesaan, dan
pengembangan agribisnis dikembangkan menjadi program yang nyata dan aplikabel; yang
keseluruhannya harus lebih memperhatikan faktor manusianya atau faktor sosiokulturalnya
(sehingga manusianya tidak bodoh, kurang pendidikan, tidak berjiwa entrepreneur dan
hanya bermentalitas subsisten belaka). Pemerintah perlu meningkatkan terus kualitas
penduduk pedesaan sebagai sumberdaya ekonomi yang mampu berproduktivitas tinggi;
serta menghidupkan kembali dan meningkatkan sisa-sisa bentuk kehidupan sosial pedesaan
yang berdasar atas prinsip guyub (merupakan salah satu kelembagaan tradisional
masyarakat lokal) yang masih ada.
KAJIAN SOSIOLOGIS PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN
Pengkajian terhadap pembangunan pedesaan akan berlangsung sepanjang suatu
desa akan mengalami proses pembangunan tersebut dan mencakup berbagai aspek dan
faktor yang saling berkaitan dan sangat luas jangkauannya. Untuk itu sangat diperlukan
keefektifan analisa atas kendala dan kesempatan yang memadai bagi negara berpendapatan
rendah. Tiga cakupan kegagalan sejarah yang patut lebih diperhatikan, yaitu: 1) kegagalan
merancang dan menerapkan strategi yang tepat guna untuk pengembangan pertanian
dengan dasar yang luas; 2) kegagalan mengurangi tingkat kematian dan penyakit, yang
10
saling berkaitan dalam memperlambat pertumbuhan penduduk dan kenaikan angkatan
kerja; 3) kegagalan menciptakan organisasi dan kelembagaan yang tepat guna untuk
memecahkan masalah pada tingkat lokal dan memperbaiki penampilan dari birokrasi
pembangunan.
Dasar diagnosa pembangunan pedesaan, adalah: 1)berhubungan dengan pola
pengembangan pertanian atas dasar yang luas dan yang intensif dari tenaga kerja,
perluasan kesempatan penyerapan tenagakerja yang produktif, dan penggunaan lebih tepat
guna dan penuh dari sumber tenaga kerja yang berlimpah secara relatif, dapat
memudahkan perluasan penghasilan; 2) melibatkan penyempurnaan keterbatasan
pelayanan sosial (pendidikan, gizi dan kesehatan, dan sebagainya); 3) program
memperkuat prasarana kelembagaan dan ketrampilan mengelola kebutuhan pedesaan.
Pembangunan pedesaan menyebabkan terjadinya transformasi ke pertanian modern
tidak hanya melalui perubahan struktur, juga menyangkut perubahan berbagai aspek yang
membentuk perilaku, yaitu berupa perubahan sistem nilai, norma, orientasi. Lemahnya
kinerja ekonomi pedesaan terutama disebabkan rendahnya kapasitas kelembagaannya,
nilai-nilai tradisional yang masih rendah interaksinya antar kelembagaan, kecilnya akses
terhadap kelembagaan modern, dan melemahnya kelembagaan lokal karena tekanan dari
luar. Untuk itu diperlukan pemberdayaan kelembagaan tradisional yang dimulai dari
masyarakatnya agar menjadi esensial untuk mencapai kesinergisan yang optimum dalam
aktivitasnya di tingkat lokal.
Marjinalisasi Pertanian dan Pedesaan
Selama hampir seabad, pertanian Indonesia tidak menunjukkan perbaikan berarti,
jika tidak dapat dikatakan mengalami kemunduran. Konsistensi dan keberlanjutan
pembangunan pertanian tidak mengalami keberpihakan pada kemajuan perekonomian
pedesaan. Pengelolaan usahatani masih non-formal dan tradisional turun temurun, pasar
pertanian domestik kita diserbu produk pertanian impor. Sentuhan pengetahuan dan
teknologi modern umumnya hanya mampu diserap dan sesuai untuk kalangan petani sawah
yang ‘mampu’ dan hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Masalah marjinalisasi
pertanian tentu bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam, lebih
tepatnya terletak pada kualitas SDM yang lemah dan rapuhnya dukungan tatanan
kelembagaan pertanian pedesaan. Munculnya gejala marjinalisasi petani dan pemiskinan
struktural sangat nyata sebagai hasil ikutan dari modernisasi pertanian padi sawah (di
Jawa).
11
Dengan diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah (UU No.22 tahun 1999),
sistem dan peran kelembagaan penyuluhan pertanian (BPP) sudah sangat kurang memadai.
Bahkan, seperti kasus di Bali, BLPP (Balai Latihan Penyuluhan Pertanian) sebagai
lembaga untuk memperkaya pengetahuan sudah memudar. Kelembagaan penyuluhan sejak
dulu lebih banyak diarahkan untuk mendukung pengembangan produksi padi nasional
(dalam rangka swasembada pangan) dan sangat kurang berperan sebagai penggerak
ekonomi pedesaan. Kegiatan penyuluhan pertanian di pedesaan sering tidak sejalan dengan
alternatif petani untuk pengembangan ekonomi rumahtangganya.
Struktur dan Kelembagaan Ekonomi
Pemaknaan kelembagaan bersifat formal, lebih banyak berfungsi untuk kelancaran
pekerjaan dan kepentingan para birokrat di kecamatan dan pedesaan, seperti: KUD atau
BRI, adalah dianggap sebagai lembaga ekonomi yang bukan milik masyarakat pedesaan.
Hal ini mencerminkan pendekatan kebijakan perancang pembangunan yang sentralistik
(top down), centrally planned economies dan monolitik, sehingga terkesan sulit
berkembang dan tidak mengakar pada adat, kebudayaan dan local knowledge masyarakat
setempat (sejalan penerapan UU No.5/1979 tentang pemerintahan desa). Dengan demikian,
bisa dimengerti mengapa dan apa penyebab kemandegan KUD saat ini yang bahkan
meninggalkan sejumlah tunggakan yang tidak sedikit.
Terdapat tiga pola kelembagaan lokal pedesaan dalam mengelola usaha pertanian,
yaitu: pola pemerintah (inti-plasma), tradisional (patron-klien) dan pasar (rasional).
Ketiganya memiliki kesamaan pada konsentrasi “kekuasaan” dalam penguasaan modal dan
peluang dalam mengeksploitasi petani, yang tidak memperoleh bagian nilai tambah yang
wajar.
Tabel: Kontribusi Kesertaan dan Posisi Petani dalam Tiga Pola Kelembagaan Ekonomi Pedesaan,
menurut Beberapa Pencirinya.
Penciri Kelembagaan
Pola Kelembagaan Ekonomi Pedesaan
Pemerintah Tradisional Rasional-Pasar
Struktur Otoritas
Diferensiasi Kerja
Jaminan subsistensi
Simbol interaksi
Penguasaan modal
Insentif teknologi
Sharing sistem
Penentuan harga pokok
Kontribusi nilai tambah
Integrasi horizontal
Integrasi vertikal
Interdependensi asimetrik vertikal
Ketat - kurang
terkendali
1 – 2
1 – 3
Kepatuhan
1 – 2
1 – 2
Timpang
1 – 2
1 – 2
Lemah – sedang
Sedang – tinggi
2 – 3
Longgar – kurang
terkendali
1 – 2
2 – 3
Personal trust
0 – 1
1 – 2
Sedang
2 – 3
2 – 3
Lemah
Tinggi
2 – 3
Longgar –
terkendali
2 – 3
0 – 1
Transaksi harga
0 – 1
0 – 3
Sangat timpang
0 – 2
1 – 3
Lemah
Lemah – tinggi
0 – 3
Keterangan: 0 = tidak ada 1 = kecil 2 = sedang 3 = tinggi.
12
Hubungan interdependensi atau kemitraan yang terbentuk mencirikan interaksi
yang sangat asimetris, sehingga dinilai tidak menguntungkan bagi perbaikan perekonomian
petani dan pedesaan. Perlu dikemukakan adanya keterkaitan erat antara lemahnya kekuatan
politik dan terbelakangnya ekonomi petani (lemahnya hak politik petani maka sulit
mengembangkan kekuatannya dalam berorganisasi di bidang ekonomi). Kondisi tersebut
turut dipicu semakin sempit dan terbatasnya penguasaan dan pengusahaan lahan, dimana
yang berlahan luas menjadi semakin luas, menggambarkan gejala marjinalisasi petani dan
kemunduran perekonomian pedesaan menjadi sulit dielakkan.
Kepemimpinan dan Kemajuan Ekonomi
Peran kepemimpinan sangat besar bagi kemajuan maupun kemunduran
perekonomian suatu masyarakat, terlebih pada masyarakat yang kandungan semangat
patronasenya kuat. Keberadaan seorang pemimpin yang kuat dalam masyarakat pedesaan
sangat menentukan peluang dan tingkat kemajuan ekonomi masyarakat pedesaan. Di
kawasan irigasi Riam kanan, kepercayaan masyarakat petani terhadap pejabat
pemerintahan sudah sangat rendah, karena sudah banyak terjadi kasus pencatutan yang
mengatas namakan kepentingan petani untuk mengeruk keuntungan bagi pribadi
(‘korupsi’)sehingga banyak bantuan pemerintah yang tidak sampai ke petani; misalnya
bantuan kredit traktor tangan yang tidak didasarkan survei lapang yang akurat.
Aspek kepercayaan (trust) dalam kepemimpinan untik menggerakkan masyarakat
ke arah kemajuan merupakan sesuatu yang sangat penting, dan akan dihargai serta
dihormati jika pemimpin tersebut memiliki keunggulan karena mampu memecahkan dan
mengatasi masalah masyarakat termasuk masalah produksi dan ekonomi pertanian mereka.
Hal ini penting untuk menghindarkan munculnya sifat ‘manja’ dan ‘ketergantungan’ petani
terhadap bantuan pemerintah, yang akan menyebabkan kemerosotan daya kreatif petani
dalam mengelola sumberdaya pertanian di daerahnya.
Seorang pemimpin juga harus mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat
dan menghilangkan sifat mementingkan diri dan golongannya semata. Petani juga
mengharapkan semangat “altruistik” (mau berkorban lebih dulu) dari seorang pemimpin,
agar memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat yang otomatis tentu akan menjadi
pendukungnya (misalnya, merintis jalur pemasaran lintas desa/daerah, memperhatikan
sarana dan prasarana pertanian, irigasi dan mengembangkan diversifikasi usahatani).
Seorang pemimpin diharapkan memiliki visi dan misi yang jelas dan ditranparansikan ke
petani, memiliki pemahaman local knowledge yang baik, mampu menggerakkan inspirasi
kekolektifitasan antar petani dan terorganisir dengan baik (dengan menunjukkan contoh
13
keberhasilannya dibanding secara individualistik), serta mentransmisi dan mendinamisasi
persaingan sehingga menjadi energi kolektif kemajuan masyarakat setempat.
Para ahli dan pakar kebijakan ekonomi umumnya berpendapat bahwa kemajuan
ekonomi suatu masyarakat akan menggusur semangat gotong royongnya. Dengan
pluralisme etnis di masyarakat pedesaan, individualisme/mementingkan kemajuan etnis
tertentu dapat diredam dengan menumbuhkan kecerdasan kolektif masyarakatnya dan
diarahkan untuk energi kemajuan bersama (conflict resolution), sehingga semangat
keorganisasian petani dapat berkembang sehat. Solidaritas masyarakat petani, secara
ekonomi sangat berguna, karena dengannya interdependensi antar petani dapat dijadikan
modal sosial untuk mewujudkan semangat win-win solution dalam kehidupan ekonomi
petani. Ciri kolektivitas dalam beberapa etnis di Indonesia telah membentuk pola hubungan
masyarakat paternalistik (panutan). Masyarakat membutuhkan seseorang sebagai patron
(panutan) yang mampu mewakili dan mewujudkan ‘impian’ masyarakat secara kolektif.
Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan tradisional merupakan salah satu
usaha dalam program pembangunan pedesaan (yang salah satunya dengan partisipasi
masyarakat lokal) untuk memperkuat jaringan perekonomian masyarakat petani (agar tidak
hanya sekedar subsisten dan agar mampu berkelanjutan), agar dapat mendorong usaha
pertanian petani untuk berproduktivitas tinggi, berdiversifikasi, meninggalkan konsep
pertanian primitif subsistensi dan menuju pertanian yang modern serta mampu memenuhi
pasar komersial.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
1. Fokus utama dalam kajian aspek kelembagaan adalah perilaku atau perilaku sosial,
dimana inti kajiannya adalah mengenai nilai kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin,
keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Bentuk perubahan sosial dalam aspek
kelembagaan bersifat kultural dan prosesnya membutuhkan waktu lama.
2. Kemarjinalan kelembagaan lokal di pedesaan ditunjukkan kelemahan pengembangan
dan penerapan aspek kepemimpinan. Pemimpin harusnya sebagai penggerak dinamika
masyarakat pedesaan dalam pemacuan perkembangan ekonomi setempat.
3. Berperannya tata nilai (menegakkan rasa malu, harga diri dan etos kerja keras, rajin,
daya produktif tinggi) sebagai komponen kelembagaan untuk menggerakkan kemajuan
perekonomian baik secara individual maupun kolektif, sehingga terwujud domestic
saving yang tinggi serta empati/tepo seliro yang tinggi dalam bermasyarakat sosial.
14
4. Kemarjinalan kelembagaan lokal masyarakat pedesaan, dicerminkan oleh lemahnya
posisi tawar (bargaining position) petani, yang disebabkan: kelemahan
pengorganisasian kelompok tani, penguasaan permodalan usaha, ketimpangan
interdependensi petani dengan pelaku ekonomi luar desa. Pola kelembagaan petani
pedesaan, yaitu pola pemerintah (inti-plasma), tradisional (patron-klien) dan pasar
(rasional) masih mengeksploitasi petani secara tidak adil.
5. Terdapat tiga tahap perubahan kelembagaan, yang berbeda bentuk, karakteristik,
pengambilan dan penetapan keputusan, sifat keterlibatan masyarakat, serta pendekatan
sosial-ekonomi dan politik atas desa, yaitu kelembagaan pada: 1) tahap masyarakat
komunal; 2) tahap penghancuran masyarakat komunal; 3) tahap komunalitas baru.
6. Dalam program pembangunan pedesaan, strategi pengembangan kelembagaan,
cenderung sebagai: a) Tujuan pembentukan kelembagaan yang masih berkisar
peningkatan produksi, lebih memperkuat jaringan horizontal, tapi lemah dalam ikatan
vertikal, yang hanya untuk memudahkan distrubusi dan kontrol dari pelaksana
program; b) Keseragaman pengembangan bentuk kelembagaan bias pada pola
kelembagaan usahatani padi sawah; c) Pembinaan cenderung individual; d)
Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, entry pointnya
adalah teknologi, bukan kelembagaan; e) Introduksi melalui budaya material dibanding
non-material, atau merupakan perubahan yang materialistik.
7. Kelembagaan komunitas tradisional yang berlandaskan pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat lokal lebih mampu menjamin pengembangan, keberhasilan dan
keberhasilan kelembagaan tersebut.
Implikasi Kebijakan
1. Pembangunan pedesaan harusnya disertai oleh program yang langsung menuju ke
sasaran, dimana agricultural development dikombinasikan dengan rural development
sehingga menjadi rural-agricultural development yaitu satu program pembangunan
pedesaan komprehensif.
2. Perlunya penyesuaian yang kuat dari pihak perancang dan penyelanggara kebijakan
dengan keberpihakan terhadap kepentingan peningkatan perekonomian pedesaan.
Perlunya difungsikan asas keterwakilan, transparansi, akuntabilitas mereka dan
menempatkan masyarakat pedesaan sebagai mitra dan pelaku strategis pemberdayaan
ekonomi pedesaan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2000. Pengembangan Pertanian sebagai Andalan perekonomian Nasional.
PSE. Bogor.
Dove, M.R. (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Etzoni, A. 1985. Organisasi-Organisasi Modern. UI. Press & Pustaka Bradjaguna. Jakarta.
Geertz, C. 1874. Involusi Pertanian. Bharata. Jakarta.
Husken, F. 1998. Masyarakat Desa Dalam Perubahan. Grasindo. Jakarta
Israel, A. Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. LP3ES.
Jamal, E., dkk. 2000. Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan kelembagaan Pertanian. PSE.
Bogor.
Kasryno, F. dan J.F. Stepanek. 1984. Dinamika Pembangunan Pedesaan. Obor. Jakarta.
Koentjoroningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Grasindo. Jakarta.
_______. 1997. Kebudayaan , Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta.
Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Mubyarto. 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Sinar Harapan. Jakarta.
Pranadji, T. 2001. Penguatan Lembaga Pedesaan sebagai Penggerak Ekonomi Pedesaan.
Makalah PENAS X: Pertemuan KTNA. Tasikmalaya.
Sajogyo. 1980. Ekologi Pedesaan. Sebuah Bunga Rampai. Obor. Jakarta.
Saptana, Roosganda, dkk. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional. Laporan Hasil
Penelitian. PSE. Bogor.
______. 2004. Transformasi Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Rakyat di
Pedesaan. Journal on Socio-Economics of Agricultural and Agribussines. Bali.
Schoorl, J. W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara
Sedang Berkembang. Gramedia. Jakarta.
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Gramedia. Jakarta.
Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih bahasa Aminudin dan
Mursid. Penerbit Ghalia. Jakarta.
Uphoff, N. 1992. Local Institution and Participation for Sustainable Development.
IIED. London.